Abstrak
Artikel
berikut menyajikan obrolan dengan Grace Natalie Louisa tentang pengalaman
tampil di For Him Magazine (FHM), perjuangan toleransi, transparansi dan
disrupsi parlemen, pentingnya digitalisasi untuk perkembangan pengelolaan
negara Indonesia, hingga asal usul sapaan ‘bro’ dan ‘sis’ yang dipakai dalam Partai
Solidartitas Indonesia (PSI).
Kata-kata
Kunci : Grace Natalie Louisa; Partai
Solidartitas Indonesia;
DOI : https://dx.doi.org/10.31237/osf.io/u3mxv
Pengantar
Grace
Natalie Louisa adalah seorang Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI),
seorang mantan jurnalis, seorang istri, dan seorang Ibu yang lahir pada 4 Juli
1982 . Grace menyelesaikan sekolah dasar di SD Kristen IPEKA Sunter serta pada
1994. Sekolah menengahnya diselesaikan di SMAK 3 BPK Penabur, Jakarta. Grace
kemudian mengambil jurusan akuntansi di Institute Bisnis dan Informatika
Indonesia.[1][2][3]
Pengalaman
pertama Grace dalam jurnalistik dimulai ketika jaringan SCTV mengadakan SCTV
Goes to Campus, kompetisi untuk mencari mahasiswa yang ingin menjadi
jurnalis. Grace memenangkan kompetisi tingkat provinsi (DKI Jakarta) dan
kemudian mencapai lima besar secara nasional.
Setelah
menyelesaikan kuliah, Grace direkrut oleh SCTV dan menjadi presenter pada acara
Liputan 6. Pada tahun-tahun awal sebagai jurnalis televisi, ia meliput
kejahatan, politik, bisnis, dan berita terkini lainnya. Dia mengatakan sulit
beradaptasi dengan dunia televisi yang sangat dinamis dengan jam kerja yang
tidak dapat diprediksi. Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya, dan dia
perlahan-lahan jatuh cinta dengan dunia jurnalisme. Setelah setahun, dia pindah
ke ANTV dan kemudian ke tvOne.
Pengalaman
sebagai jurnalis membuat Grace dekat dengan isu politik. Kedekatannya ke isu
politik berlanjut, tahun 2012, Grace dipercaya menjadi CEO di Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC). Beberapa momentum politik penting dilewatinya
bersama SMRC, termasuk Pemilihan Legislatif dan Presiden 2014.
Grace
memantapkan diri untuk terjun langsung ke dunia politik dan memimpin PSI karena
ingin ‘Rumah Indonesia’ yang akan dihuni oleh kita, anak-anak kita, saudara
kita di masa yang akan datang, adalah Indonesia yang menjadi rumah damai buat
seluruh suku, golongan, agama, ras dan keyakinan.
Berikut
ini obrolan dengan Grace Natalie Louisa tentang pengalaman tampil di For Him
Magazine (FHM), perjuangan toleransi, transparansi dan disrupsi parlemen, pentingnya
digitalisasi untuk perkembangan pengelolaan negara Indonesia, hingga asal usul sapaan
‘bro’ dan ‘sis’ yang dipakai dalam PSI.
Pada 2009 lalu, For Him Magazine (FHM) menerbitkan artikel dan foto
Anda yang waktu itu dipilih menjadi 1 dari 100 wanita terseksi versi. Bagaimana
tanggapan Anda tentang hal ini?
Saya memang
pernah berfoto untuk majalah For Him Magazine (FHM) Indonesia dengan
pose di atas meja rapat, tapi itu masih berbaju lengkap lho. Posenya sensual
tapi nggak porno. Memang kesannya liar banget sih saya berpose di atas
meja, kayak mau menerkam, hahaha. Waktu itu saya menelepon reporternya
dan bilang, “Mas kayaknya itu jangan deh, seksi banget.” Akhirnya
mereka setuju sih nggak naikin yang itu. Tahun 2009 saya dipilih jadi 1
dari 100 wanita terseksi versi FHM Indonesia dan katanya di tahun
depannya peringkat aku naik. Okelah kalau saya dibilang orang menarik, tapi
kalau seksi kan konotasinya berarti harus ada bagian-bagian tertentu itu yang
ukurannya lebih besar dari pada yang standar. Dimana seksinya saya? Saya pakai
baju seksi sedikit saja, pasti sudah dikomplain, katanya sih begitu, tapi waktu
itu saya tanya balik, “Yakin? Bukannya para cowok itu suka merasa terintimidasi
sama wanita yang pintar?” Menurut saya wanita pintar itu cenderung mengintimidasi
bagi kebanyakan pria.
Sebelum terjun ke dunia politik, Anda merintis karir sebagai jurnalis televisi,
Apa yang menggerakkan Anda untuk mengubah sistem dari dalam?
Dulu kerja jadi
jurnalis malah tidak menikmati dunia politik. Tapi ini berubah saat saya melihat
Pak Jokowi sampai di Jakarta dan beliau merubah Jakarta dalam waktu singkat. Saya
yang tadinya tidak peduli dengan politik tersentuh dengan politik baik dalam hidup
sehari-hari. Mulai dari mengurus surat di kelurahan, saya dulu menikah di tahun
2011, terasa sekali mengurus surat di kelurahan ribet, nunggunya lama, pegawainya
suka tidak ada, bolak-balik hanya untuk mengurus surat pengantar dan sebagainya.
Begitu diubah oleh Pak Jokowi, langsung terasa. Setelah itu saya mengurus E-KTP,
perbedaannya terasa sekali sebelum dan sesudahnya. Para pegawai mentalnya melayani,
sampai memberikan nomor WhatsApp. Dulu harus cek berkali-kali, bolak-balik dan belum
tentu sudah jadi. Hal kecil saja berubah. Kemudian banyak perubahan terjadi di Jakarta,
jadi lebih bersih, baru ketahuan, banyak borok-boroknya. Misalkan, mengapa kita
suka banjir? Karena tidak dibersihkan. Saya pernah membaca berita, dulu kan di Jl.
Gunung Sahari Raya setiap hujan pasti banjir, ternyata sudah 20 tahun tidak dibersihkan,
ya bagaimana tidak banjir?
Dari situ saya berkesimpulan, kita mempunyai masalah human resources. Kalau
pemimpin kita bagus, mempunyai kemampuan, mau kerja, pasti terurus. Tapi kalau human
resources-nya jelek ya itu masalahnya sekarang kan? Karena orang-orang bagus
saat ini tidak mau masuk politik. Jadi di situ punya harapan, saya mulai mengerti
masalah-masalahnya, ditambah lagi setelah melihat Pak Jokowi berarti kita sebenarnya
bisa lebih baik. Asal human resources nya dibenahi.
Kedua,
saya menyadari kok kita semakin banyak mendengar peristiwa intoleransi? Kalau sekarang
apa lagi, tambah sering. Paling tidak setiap bulan pasti kita dengar kasus, dulu
masih jarang-jarang. Jadi saya juga ingin do something, melawan intoleransi.
Karena dengan kondisi kita yang beragam, yang namanya toleransi dan solidaritas
itu modal dasar. Kalau tidak ada itu, bagaimana kita bisa hidup berdampingan? Apalagi
kita semua berbeda-beda. Suku ada 700 lebih, agama yang diakui ada enam, belum lagi
penghayat, kepercayaan. Nah, kalau tidak ada toleransi, kita akan meniadakan satu
dengan lainnya, dan kita akan ribut terus. Bagaimana mau membicarakan kemajuan ekonomi,
kalau hak untuk hidup dengan aman; tidak diusir, tidak ditolak, tidak dikeroyok
massa saja tidak terjamin dengan baik?
PSI menyebut diri sebagai partai yang progresif dengan kebijakan-kebijakan yang
masih terlihat kontroversial bagi banyak pelaku politik konservatif yang masih aktif
di DPR. Darimana keberanian ini datang? Dan bagaimana perjuangannya selama ini?
Yang kami usulkan
dan yang kita lakukan itu sudah terjadi di swasta kalau kita lihat. Jadi begini,
setelah saya dan teman-teman mulai tercerahkan dengan politik yang baik, saya jadi
mulai banyak pertanyaan. Kalau kita mau mendapat orang bagus, berarti recruitment-nya
harus bagus, institusi-nya juga harus bagus. Kalau saya kuliahnya akuntansi dulu,
yang bagus itu institusinya “Price Waterhouse Cooper”, atau “Ernst & Young”
dan lulusan-lulusan semuanya lomba mau ke sana. Kalau sudah lulus dari sana, pasti
bagus. Sekarang “Ernst & Young” kan tes masuknya susah, jadi benar-benar mau
mencari yang terbaik. Karena sudah memiliki management yang seperti itu,
makanya orang-orang terseleksi sendiri. Yang bodoh dan malas ya tidak berani daftar
ke sana, sementara yang bagus-bagus pasti mendaftar dan tahu kalau mereka akan punya
kesempatan. Bahkan orang biasa saja bisa sampai jadi partner, karena memang
ada jenjang yang jelas, ada penilaian yang jelas.
Nah, kenapa itu
tidak ada di politik? Padahal di swasta sudah seperti itu. Kenapa tidak ada satupun
partai yang melakukan perekrutan caleg secara terbuka? Semuanya tertutup. Karena
tertutup, asik saja. Masukkan istrinya, anaknya, temannya. Bukannya tidak boleh
istri dan anaknya masuk, kalau bagus tentu boleh. Tapi harus ada seleksi yang terbuka
sehingga jelas. Kalau anaknya masuk dan ada orang lain yang tidak masuk, kenapa?
Benar tidak anaknya lebih bagus daripada orang tersingkir itu? Jangan sampai ada
orang bagus yang kalah karena saingan dengan anak owner. Kejadian seperti
itulah yang membuat orang-orang frustasi dan tidak mau masuk politik. Apalagi anak-anak
muda yang sudah terbiasanya semuanya serba transparan. Sekarang saja kalau kita
mau pesan makanan, yang kita andalkan apa? Rating orang dan komen. Jadi kita
tahu kurang lebih ini enak meskipun kita tidak tahu. Nah, jadi sudah se-terbuka
itu bahkan untuk pesan makanan, masa untuk seleksi anggota dewan tidak pernah terbuka?
Itu satu.
Kami progresif
karena yang lainnya sangat old school, jadul, purba bahkan. Apa yang kita
lakukan, kita cuma melihat kalau di dunia swasta sudah praktik yang sangat biasa,
tapi mengapa di sektor publik tidak? itu simple logic saja sih, bukan rocket
science. Lalu kalau semuanya bisa serba transparan dalam kinerja, kita sebagai
pekerjanya punya KPI (Key Performance Index), mengapa di DPR tidak? Makanya kita
ingin masuk ke sana untuk melakukan digitalisasi parlemen.
Jadi yang PSI
usulkan, kita lihat dulu problem-nya, orang-orang suka bolos, orang suka
tidur, lalu produktivitas rendah. Undang-undang tahun 2018 yang beres hanya lima,
padahal targetnya 50. Nah, bayangkan. Kalau kita kerja di kantor, gaji dibayar tetapi
tidak pernah masuk, kalaupun masuk tidur, lalu dari tugas yang diberikan, kita hanya
menyelesaikan 10%, kira-kira apa yang terjadi? Ya dipecat. Padahal kita hanya merugikan
perusahaan, nah kok bisa orang yang di DPR, mengurus 260 juta rakyat Indonesia,
ia punya tugas undang-undang anggaran, kok bisa seenak-enaknya tidur dan kita tidak
pernah – sepanjang saya jadi wartawan ya – tidak pernah meliput, mendengar ada anggota
dewan yang terkena sanksi karena kelakuan tersebut. Bahkan kerap kali kalau ada
kasus, dilaporkan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) paling hanya teguran.
Selain itu, tidak
ada reward and punishment, orang bolos, orang rajin, sama saja. Jadi, untuk
yang rajin juga terdemotivasi, semua yang mereka terima sama saja dengan yang malas-malasan.
Tidak masuk akal. Nah, kita ingin masuk kesana dengan mengadakan transparansi. Kita
ingin membuat semuanya live, wajib. Kalau sedang rapat, kunjungan kerja,
pas reses ada aktivitas, semua dilaporkan dengan live. Jika tidak ada live-nya,
berarti bolos. Kalau bolos lebih dari 10%, langsung dipecat by system. Itulah
sistem yang kami buat, jadi orang bisa tahu, agenda saya hari ini rapat dengan siapa,
ketemu siapa, semua ada. Kan kerja untuk masyarakat, bosnya masyarakat, masa bos
kita tidak tahu kita ngapain? Kan tidak mungkin.
Bagaimana mungkin
ada orang yang digaji begitu tinggi tetapi tidak ada laporan kinerja? Ada istilah
“if you give peanuts, you get monkeys”, tapi kita kan tidak give peanuts,
kita memberikan kompensasi yang bagus, anggota dewan akan dapat pensiun seumur hidup.
Jika Tsamara (Amany) terpilih, dia akan dilantik umur 22 tahun, jika dia menjabat
5 tahun, di umur 27 dia akan mendapatkan pensiun seumur hidupnya. Gaji juga jauh
dibanding kerja manager bank sekalipun, mereka bisa mengumpulkan 2-3 Miliar
bahkan lebih per tahun. Sudah begitu bagusnya, mengapa kita masih dapat monkeys?
PSI ingin semua
rapat disiarkan live. Kalau sambil live nanti terlihat saat ruangan
kosong, orang di sebelah kita tidur, apalagi kalau ketiduran pulas. Semua akan terlihat
dari kamera PSI. Kita juga buat fitur penilaian, mirip jasa Go-Jek atau Grab. Masa
anggota Dewan kalah dengan tukang Go-Jek dan juga Grab? Makanya kita ingin masuk
kedalam untuk membuat disrupsi. Karena kita tidak bisa mengatakan ke mereka bahwa
cara mereka selama ini salah dan menggurui, itu percuma. Daripada begitu, lebih
baik kita sendiri masuk ke situ, terapkan apa yang kita usulkan pada diri sendiri.
Itulah yang dikatakan disrupsi, karena yang tadinya standarnya dibawah, mau tidak
mau jadi ikut standar PSI.
Masyarakat yang
tadinya tidak tahu, nanti akan melihat kalau anak-anak PSI bisa, kenapa yang lain
tidak? Selanjutnya standarnya akan naik. Masyarakat akan meminta kita untuk lebih
transparan. Akhirnya, pilihan para dewan ini tinggal dua. Pertama, mereka harus
berubah dan ikuti standar yang PSI buat, semuanya transparan. Kalau tidak dilakukan
yang terjadi adalah skenario kedua, ditinggal pemilihnya. Kalau mereka ditinggal
pemilihnya, kita akan memiliki lebih banyak orang yang mau bekerja dengan standar
itu. Mau opsi apapun yang terjadi, yang diuntungkan siapa? Masyarakat. Kalau yang
lama-lama ini berubah, kerjanya menjadi lebih bagus, kita semua diuntungkan. Kalau
tidak berubah, itu namanya hukum alam. Kalau kita meminta yang sekarang berubah?
Susah. Yang bisa kita lakukan adalah edukasi market-nya, sama seperti Go-Jek,
dia edukasi masyarakatnya. Jadi standar masyarakat yang ditingkatkan. Inilah yang
ingin PSI lakukan di parlemen.
Sebagai seorang pelaku politik beragama minoritas, menurut Anda, apa yang bisa
kita lakukan sebagai negara untuk membantu melawan diskriminasi terhadap sesama?
Harus masuk dalam
regulasi. Kenapa? Karena selama 20 tahun terakhir, yang melakukan diskriminasi itu
adalah negara sendiri. Dalam hal ini, pemerintah daerah. Dr. Michael Buehler adalah
guru besar ilmu politik dari Northern Illinois University, dia melakukan penelitian
tentang perda Syariah di Indonesia, dan dia mendapati ada 440 perda Syariah tersebar
di berbagai provinsi, kabupaten di Indonesia. Ternyata, yang membuat perda-perda
tersebut adalah partai politik yang berhaluan nasionalis. Jadi dia sempat membuat
artikel berjudul Partainya Sekuler, Aturannya Syariah.[4]
Ketika
negara melakukan diskriminasi, itu bahaya. Misalnya, sekolah negeri kan campur siswanya,
namun semua siswi harus mengenakan busana Muslim, bahkan harus bisa baca tulis Al-Qur’an
untuk menjadi syarat kelulusan, sekalipun ia non Muslim. Itu perda Syariah. Perda
Injil pun juga bermasalah. Misalnya di Wamena, dalam rangka membuat orang lebih
rajin ke gereja, pada hari minggu dibuat aturan tidak boleh berjualan sebelum jam
5 sore, supaya harapannya orang rajin ke gereja. Ternyata, begitu aturan diterapkan,
sama saja. Yang ke gereja jumlahnya sama saja. Kalau malas ya memang malas, dan
ini peraturannya diskriminatif kan. Orang mau mencari nafkah jadi tidak bisa, dilarang.
Meskipun dia pedagang non-Kristen, dia tidak ke gereja tetap saja dilarang. Orang
lain yang non-Kristen juga tidak bisa jajan, kan diskriminatif. Ketika kita membuat
produk hukum hanya mengambil nilai agama, tentu saja kita pasti akan diskriminasi
yang lainnya. Itulah salah satu hal yang PSI perjuangkan, mengapa kita tidak membuat
perda Pancasila saja? Jika kita membuat perda Pancasila seperti Undang-undang Dasar
1945 semuanya akan tercakup, tanpa kecuali.
Bahayanya
perda-perda agama yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun (mulai dari Otonomi
Daerah tahun 1999), orang jadi terbiasa dengan narasi “Yang sedikit harus ikut dengan
yang banyak”. Narasi ini sudah berlangsung selama 20 tahun, akhirnya sekarang kalau
ada peristiwa intoleransi, narasi itu yang terus ada. Contoh, kemarin di Dusun Karet,
Bantul. Pak Slamet ditolak tinggal disana karena ia non-Muslim sementara penduduk
Muslim. Jadi, ditolak karena mayoritas bukan seperti dia. Dalam semua seperti peristiwa
ini, yang kami kritisi, mengapa tidak ada kekuatan politik yang resmi menolak itu?
Dalam arti, Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, atau juru bicara resmi partai melakukan
penolakan, pengecaman terhadap aksi-aksi diskriminasi dan intoleransi. Ketika semua
diam, akhirnya menurut masyarakat it’s okay seperti itu. Dua puluh tahun
berjalan yang tadinya merupakan sesuatu yang tidak normal, lama-lama menjadi standar
normal yang baru. Inilah bahayanya yang kami sebut “normalisasi intoleransi”. Itu
bahayanya jika toleransi tidak diperjuangkan, kita suarakan, jika semua diam karena
tidak mau berlawanan dengan kelompok intoleran, ya semakin besar jumlahnya. Kalau
kita tidak mau berjuang, tunggu saja salah satu dari kita akan menjadi korban, dan
tinggal tunggu saja NKRI ini pecah. Papua mau sendiri, NTT sendiri, Sulawesi Utara
juga mau sendiri, bahkan mungkin Aceh mau sendiri karena standar disana sangat berbeda
dengan pulau Jawa. Kalau dikatakan Indonesia bubar, ya itu yang dimaksud – ketika
orang mau-maunya sendiri, menurut keinginan mayoritas. Apa ada kota atau kabupaten
yang 100% orangnya homogen? Kan tidak ada.
Beberapa waktu lalu, terdapat spanduk PSI hoaks yang menyatakan bahwa PSI mendukung
hak-hak kelompok LGBT. Sebagai partai yang
mengecam aksi intoleransi, Bagaimana Anda menyikapi hal ini?
Sikap kita clear,
semua orang berhak untuk hidup aman di Indonesia, tidak boleh di persekusi. Itu
sikap kami.
Belum lama, PSI mengeluarkan iklan yang
mendukung ekspor sawit untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Namun, perkebunan sawit
terbukti menjadi salah satu faktor dalam penggundulan hutan. Di era dimana pembudidayaan
lingkungan adalah isu yang dijunjung tinggi. Bagaimana kita dapat memperkuat ekonomi
Indonesia sembari menjaga atau melestarikan lingkungan?
Memang harus
ada aturannya, sekarang ini ekspor sawit sudah sangat ketat aturannya. Kalau mau
diterima di pasar Eropa, mereka punya aturan bahwa praktik harus sustainable,
tidak boleh memperkerjakan anak kecil, tidak merusak lingkungan dan sebagainya.
Jadi aturannya sudah dibuat ketat. Yang perlu kita lakukan adalah jangan melihat
ini sebagai hitam dan putih, tapi justru yang diarahkan adalah agar prosesnya lebih
sustainable.
Kalau membicarakan
pelestarian lingkungan ya, kita kalau membuat jalan itu membabat hutan, agar transportasi
desa lebih lancar. Tapi kalau kita tidak ingin ada lingkungan yang diubah sama sekali
kan berarti tidak membuat jalan, tidak membuat tempat tinggal dan sebagainya, apa
mau seperti itu? Kan harus ada. Segala sesuatu ditempatkan pada proporsinya, artinya
jangan kemudian serta merta membabi buta, menolak industri kelapa sawit. Ketika
itu justru sudah ada aturannya juga. Salah satu caleg kami, Silverius Oscar Unggul
mengadvokasi petani, jadi bukannya melarang mereka untuk menjadi petani sawit, tapi
diajarkan bagaimana caranya agar memperhatikan aspek-aspek sustainability.
Agar setelah itu pupuknya harus baik dan sebagainya, jadi harus berimbang. Aturan
di luar negeri itu ketat sekali, itu harus dipenuhi. Kita perlu edukasi terus agar
sustainability-nya terjaga.
PSI adalah partai yang sangat anti dengan korupsi, bahkan menyatakan siap disadap
KPK seperti dikatakan oleh juru bicara PSI, Mikhail Gorbachev. Namun salah satu
kader pilihan partai ini (Sudarmo, Kalimantan Barat) terbukti melakukan aksi tersebut
meski memiliki sistem pemberantasan korupsi yang cukup ketat. Bagaimana sistem ini
dapat diperkuat lagi?
Jadi sistem seleksi
di PSI berlapis, kan ada juri independen. Selama proses penjurian pun kita undang
orang-orang untuk meliput. Rata-rata media mainstream kita undang, termasuk
media online. Bahkan media kami berikan kesempatan untuk masuk kedalam ruang
penjurian untuk observasi, rekamannya juga ada di media sosial dan sebagainya. Kita
melibatkan tokoh-tokoh independen untuk melakukan penjurian. Setelah itu kita lempar
lagi ke publik, mereka wajib mencari dukungan dan sebagainya agar sosok ini beredar
di masyarakat bahwa ia sedang nyaleg. Supaya, kalau ada yang tahu bahwa ia bermasalah,
misalnya hutang tidak dibayar, menipu, atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga,
ada yang komplain. Fase ini sudah kita lakukan. Nah, kalau lulus wawancara dengan
juri independen dan tidak ada komplain dari masyarakat, kita akan loloskan sebagai
calon legislatif. Selain itu, kami juga cek SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian),
artinya tidak dalam kasus pidana dan sebagainya. Kalau ia sedang dalam proses pidana,
SKCK tidak akan keluar. Kalau semua sudah dipenuhi, kan kita tidak bisa meramal
masa depan.
Tapi sudah kita
buat dalam kontrak peraturannya, untuk saling menjaga. Yang bisa diperiksa kan yang
sudah terjadi, yang belum kan kita tidak bisa cek, sehingga kita membuat legal
agreement yang menyatakan bahwa, Anda bisa dipecat jika bolos lebih dari 10%,
melakukan kekerasan dalam rumah tangga, narkotika, terorisme, intoleransi, korupsi.
Saat kader kami menjadi tersangka, kami akan pecat; tidak menunggu inkrah. Dia sudah
dipecat, tetapi apa kemudian bisa di cap satu organisasi itu sama dengan dia? Bagaimana
di partai-partai lain? Biasanya menunggu inkrah dan setelah masuk penjara, dicalonkan
kembali sebagai caleg. Semua partai kecuali PSI dan Nasdem mencalonkan mantan napi
korupsi.
Selain itu, Gorbachev juga membuat poin yang cukup penting, bahwa melalui revisi
UU KPK, DPR malah menambahkan undang-undang yang melemahkan gerakan pemberantasan
korupsi. Bagaimana Anda menanggapi isu ini?
Kembali lagi,
yang membuat revisi undang-undang KPK sekarang siapa? Partai yang sekarang kan?
Makanya harus dibenahi mulai dari manajemen partainya. Dari seleksinya lah. Yang
lucu, kan KPK ini paling banyak menangkap anggota DPR, tetapi yang memilih KPK siapa?
DPR. Jadi memang problem. Makanya, kami memilih untuk berjuang dari dalam.
Kita harus buat partai, kita harus bisa masuk dan mempengaruhi proses legislasi,
setidaknya menyuarakan. Target kami untuk masuk kali ini belum bisa menang voting,
tetapi kita harus berisik, melakukan disrupsi, agar semua teman-teman media dan
masyarakat sipil tahu, kalau peraturan-peraturan aneh seperti ini sedang dibuat.
Lihat peristiwa
Angket KPK yang lalu, ketika ada usaha melemahkan KPK. PDIP ikut disitu, Golkar
ikut disitu, bahkan inisiatornya PDIP, jadi masyarakat harus mengerti bahwa kita
kalau ingin berjuang harus masuk dalam argumen, paling tidak untuk membuat berisik
dan teman-teman media terus mengawal. Supaya publik tahu, kalau tidak ya lolos terus.
Yang buat siapa undang-undang itu? Ya DPR yang sekarang ini, yang mayoritas dari
mereka, 90% mencalonkan diri kembali. Kan parah sekali.
Banyak partai atau caleg yang mengincar suara millennial namun sekedar
melalui slogan-slogan “kekinian” di banner dan poster tanpa mempunyai kebijakan
spesifik yang melibatkan atau menguntungkan millennial. Tapi PSI menggunakan
jargon “Bro” dan “Sis” dan dibilang tidak relevan atau “trying too hard”.
Sebagai partai “anak muda”, apa yang membedakan PSI dari sejumlah partai lain
yang hanya mengejar suara?
Kalau
panggilan “bro” dan “sis” dari awal karena kita ingin egaliter. Kita kan
beragam, pada sebuah pertemuan awal, kita bingung. Ini mas siapa ya? Oh,
ternyata dari Batak, Batak kan bukan mas, tapi bang. Kita ngobrol dengan orang
lain lagi, juga tidak tahu namanya siapa karena masih perkenalan, ternyata dari
Padang, ada uda, uni. Kan tidak bisa semuanya dibuat Jawa, dengan mas atau
mbak. Kita sempat bingung bagaimana memanggil satu sama lain, ya sudahlah kita
buat “bro” dan “sis” saja. Kan “bro” itu brother, saudara laki-laki,
“sis” itu sister, saudara perempuan, jadi itu saja. Ternyata, dalam
penerapannya terasa sekali mencairkan suasana. Karena kita tidak perlu terlalu
akrab, langsung saja bro! Langsung sejajar. Seperti contohnya, saya dan
Tsamara (Amany), berjarak umur 10 tahun lebih, tetapi kalau kita panggil
“kakak” atau “adik” langsung terdengar jelas perbedaannya. Kalau saya panggil
“sis!” gitu kan tidak. Disini ya begitu, mau staff magang, mau OB, semua
manggil saya sis, jadi langsung sejajar.
Itulah semangat awalnya.
Kemudian,
65% caleg kita millennials, tidak by design ya memang karena kita banyak di media sosial backbone-nya,
jadi orang lebih banyak tahu saat kita membuka pendaftaran caleg, alhasil
setelah proses seleksi, 65% caleg kita millennials. Program-program kita
untuk anak muda juga beragam, pembebasan pajak untuk warga muda (pendapatan
minimum Rp 7,5 untuk dikenakan pajak penghasilan), kontribusi ini kecil tetapi
anak-anak muda dapat menggunakan dana tambahan itu untuk kesehatan, kualitas
hidup dan sebagainya, jadi memberi kesempatan mereka untuk bertumbuh, jangan
masih kecil sudah dikenakan pajak.
PSI adalah salah satu partai yang mendengarkan suara-suara anak muda,
seperti persentase caleg millennials yang mencapai 65%. Apakah suara
mereka sudah cukup untuk dibawa untuk visi negara atau masih perlu dikembangkan
lagi?
Caleg itu
kita tidak mencari orang yang paling pintar atau paling tahu. Caleg adalah
wakil rakyat. Jadi fungsinya adalah harus kerja, harus datang, harus mendengar
masukan. Kita tidak mencari orang terpintar, tapi kita butuh orang yang mau
menjadi jembatan antara negara dan rakyatnya. Mereka bisa mendengarkan kemauan
rakyat, kalau akademisi bilangnya begini, rakyatnya mau begini, titik tengahnya
dimana?
Kita tidak
mencari seorang doktor atau profesor yang pintar dan memikirkan solusi untuk
semua yang terbaik untuk negara, kan tidak begitu. Dalam proses undang-undang
kan banyak melakukan rapat dengar pendapat, kita ajak bicara lah komunitas,
pengusaha, anak muda, kami juga undang akademisi. Dari semua itu kita mencari
titik temunya dimana, kalau datang rapat saja tidak, dan datang tidur? Mau
sepintar apapun ya percuma. Kita bukan mencari orang yang paling pintar,
mungkin saya harus menanyakan kembali. Anak muda bisa apa? Masih muda. Kita
juga mencari karyawan harus yang berpengalaman. Masalahnya, itu tidak menjadi
ukuran karena kami mencari orang yang mau jadi orang yang mendengar,
orang-orang yang bekerja. Kita ini kan negara berkembang.
PSI sangat mendukung Pak Jokowi, tetapi Pak Jokowi pun masih mempunyai
banyak kekurangannya, Bagaimana Anda melihat kedua kandidat dalam kampanye
pemilu tahun ini?
Kalau
untuk saya, Pak Jokowi PR-nya banyak, peninggalannya banyak sekali dan tidak
bisa langsung sekali jadi. Tapi saya lihat progress-nya ada kok, bisa
menyadari intoleransi, dari semua presiden hanya Pak Jokowi yang berani
membubarkan organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan itu sedang ia bayar
sekarang. Terkena isu anti Islam. Terkait isu HAM, jika dihubungkan dengan
kebebasan beribadah yang seperti saya bilang. Kita mempunyai masalah bahwa yang
melakukan diskriminasi ada di level bawah juga. Kita sudah otonomi
daerah, sudah bukan sentralisasi lagi. Sehingga Pak Jokowi tidak bisa dong
mengurus semua sampai kabupaten, kan tidak bisa begitu. Maka dari itu kita
butuh orang-orang yang di level kabupaten, provinsi dan lain-lain yang bagus.
Selain itu, jika peraturan yang bermasalah di kabupaten level kota sampai
provinsi. Sejak dua tahun lalu, kementerian dalam negeri sudah tidak bisa mencabut
peraturan bermasalah, karena sudah dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi).
Sehingga, kalau ada peraturan diskriminatif, kok dibiarkan? Karena memang tidak
bisa. Tadinya bisa, ada ribuan aturan yang ingin diregulasi oleh Pak Jokowi,
tapi dibawah justru malah mempersulit. Nah, ini tidak bisa langsung dibatalkan,
karena mereka sudah gugat ke MK. Makanya, kita butuh orang-orang terbaik sesuai
visi kami, yang mempunyai kompetensi, siap melayani publik, bekerja terbuka,
apapun suku agama dan ras-nya masuk ke politik. Kalau tidak, karena sistem kita
sudah desentralisasi dan otonomi daerah, mau punya presiden sebagus apapun
tidak akan selesai permasalahannya, kenapa? Karena itu masalah datang dari
pemerintahan daerah juga.
Salah
satu keluhan yang paling banyak masuk dalam Komnas HAM itu tentang pemerintah
daerah. Masalah ini harus diatasi, dan apa pintunya? Politik. Karena, siapa
yang mengajukan bupati? DPRD? Tiket bupati atau walikota siapa? Kalau tidak
independen kan partai. DPRD yang mengisi harus orang partai, jadi ujungnya
selalu mengarah ke situ.
Kalau seandainya kalah nanti, apa yang akan terjadi dengan
visi dan misi PSI?
Tetap
akan berjuang. Sekarang ada banyak hoax yang beredar, PSI katanya ingin memecah
suara Pak Jokowi dan sebagainya. Tidak kok, memang ada keresahan itu, kami
bentuk nyata dari keresahan itu. Kami tadinya orang-orang yang mempunyai
pekerjaan. Saya mempunyai pekerjaan baik di media, teman-teman yang pengacara
dan lain-lain yang masih kerja sampai sekarang, dan hidupnya tidak di politik.
Namun kita mempunyai keresahan yang tidak bisa dijawab oleh partai-partai
sekarang, hanya mencari aman, jadi kami memutuskan untuk maju. Kalau kita tidak
berhasil kali ini, kita akan tetap berjuang. Akan lebih susah, kenapa? Mumpung
sekarang kita mempunyai presiden bagus, Pak Jokowi, hanya dia yang berani
membubarkan HTI, kalau kita menunggu 2024, Pak Jokowi sudah tidak ada, tidak
bisa mencalonkan diri lagi. Lalu siapa? Sekarang yang terlihat ingin maju. Ada
Sandiaga Uno, jika Pak Jokowi menang lagi berarti Sandi kan kalah, mungkin Pak
Prabowo pemilu selanjutnya sudah lelah mungkin ya. Mungkin juga Anies
(Baswedan), mungkin pemilik partai lain, ada AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), ia
juga memimpin partai demokrat. Nah orang-orang ini hari ini kompromistis tidak
tegas pada kelompok intoleran. Kalau PSI baru memulai perjuangan 2024,
sementara counterpart-nya saat ini saja tidak memperlihatkan sikap yang
tegas terhadap intoleransi, pasti susah. Waktunya adalah sekarang, selagi
presiden kami masih mempunyai misi yang sama.
Penutup
“Saya
ingin menjadikan Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi siapa saja, tidak
peduli apa suku, ras dan agamanya. Tidak peduli apakah dia perempuan atau
laki-laki. Tidak peduli status sosial dan ekonominya. Rumah yang sama-sama kita
jaga. Rumah yang selalu sama-sama kita perbaiki hari ke hari.” ungkap Grace.[5]
Grace
terbilang sosok yang berani dalam kancah politik praktis Indonesia. Keberanian
Grace mendirikan partai politik baru bernama PSI patut diapresiasi semadyana.
Tak dimungkiri, selain belakangan kepercayaan masyarakat terhadap partai
politik merosot tajam, juga faktor personalitas Grace sebagai perempuan
beretnis China serta identitasnya sebagai pemeluk Kristen menjadi sisi
tersendiri. Belum lagi rekam jejak pemilik tinggi 155cm dan berat 46kg tersebut
yang pernah tampil sebagai 100 sexiest
women di For Him Magazine (FHM) pada 2009, majalah yang
karib dengan kesan seksi.
Bekal
tersebut cukup membuat Grace babak belur sebelum bertanding. Walau demikian,
dia tak takut terpelanting. Grace tetap yakin untuk terus maju. Pelan-pelan
dirinya berusaha memimpin partai yang didirikan bersama rekan-rekannya dengan
semangat baru. PSI dibangun sebagai wadah perjuangan guna mewujudkan angan
Grace agar keseharian masyarakat Indonesia menjadi harmonis, saling
mengapresiasi kesamaan sekaligus menghormati ketidaksamaan. Dalam obrolan
berikut, perempuan kelahiran 4 Juli 1982 ini berbagi pandangan mengenai makna
kemerdekaan, masalah yang diprioritaskan untuk segera dituntaskan bersama, juga
angan terbesar untuk Indonesia.
Sayang,
raihan 179.949 suara dari Daerah Pemilihan 3 DKI Jakarta (Jakarta Utara,
Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu) tak membuat Grace menjadi anggota
legislatif seiring kegagalan PSI menembus ambang batas. Walau begitu, berkat
kepemimpinan Grace selama mendirikan, membangun, serta mengembangkan PSI,
dirinya menerima beberapa apresiasi, seperti Globe Asia ‘99 Most Powerful
Woman 2017’; diundang menjadi pembicara pembuka dalam “The 2019
Indonesian Elections: Electoral Accountibilty and Democratic Quality”
di University of Melbourne” pada 6–7 Agustus 2019 dengan menyampaikan ceramah
berjudul “Defending Democracy”; serta diundang sebagai satu-satunya peserta
dari Indonesia di forum ‘Munich Young
Leaders (MYL) 2020’ di di Munich, Jerman, pada 13–16 Februari 2020.[6][7][8]
[1] (Setiawan, 2018)
[2] (Setiawan, 2018)
[3] (Setiawan, 2019)
[4] (Buehler, 2011)
[5] (Setiawan, 2018)
[6] (GlobeAsia, 2017)
[7] (The University of Melbourne, 2019)
[8] (Körber-Stiftung, 2020)
Referensi
Buehler, M. (2011, Agustus 29). Partainya Sekuler,
Aturannya Syariah. Majalah TEMPO, hal. 74-5.
GlobeAsia.
(2017, Oktober 13). GlobeAsia's 99 Powerful Women-2017. https://www.globeasia.com/cover-story/globeasias-99-powerful-women-2017/.
Körber-Stiftung.
(2020, Februari 17). Munich Young Leaders at the Munich Security Conference. https://www.koerber-stiftung.de/en/munich-young-leaders/news-details/munich-young-leaders-at-the-munich-security-conference-1969.
Setiawan,
A. R. (2018, Januari 16). Amazing Grace. https://alobatnic.blogspot.com/2018/01/amazing-grace.html.
Setiawan,
A. R. (2018, Desember 17). Grace Natalie, PSI, Poligami. https://alobatnic.blogspot.com/2018/12/grace-natalie-psi-poligami.html.
Setiawan,
A. R. (2018, Juni 13). Perjuangan Angan Perempuan. https://alobatnic.blogspot.com/2018/06/perjuangan-angan-perempuan.html.
Setiawan,
A. R. (2019, April 12). Q & A. Grace Natalie Louisa. [interview]. https://alobatnic.blogspot.com/2019/04/grace-natalie-louisa.html.
The
University of Melbourne. (2019, Agustus 5). The 2019 Indonesian Elections:
Electoral Accountability and Democratic Quality. https://arts.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0019/3128311/IDeHaRI-2019-Workshop-Program-Final.pdf.