Pak Muslim tidak pernah
mengajar saya Matematika selama saya bersekolah di MTs NU Miftahul Falah pada
2006–2009. Namun, Pak Muslim memiliki peran penting dalam memberi pondasi
kepada saya untuk mempelajari Matematika. Pada saat saya sedang bersusah-payah mencari
tahu penerapan praktis Aljabar dalam pembelajaran Matematika yang saat itu
diampu oleh Pak Masrur, Pak Muslim memberikan pengertian kepada saya bahwa
Matematika memiliki penerapan praktis dalam ilmu agama melalui pembelajaran Faro’idh.
Pembelajaran Faro’idh
bukanlah mata pelajaran populer ketika saya sekolah. Dibanding rumpun ilmu
salaf seperti Fiqih dan Nahwu, Faro’idh terbilang jarang diajarkan di sekolah
berbasis kajian salaf. Bahkan secara pribadi, saya baru mulai tahu Faro’idh ketika
di MTs NU Miftahul Falah. Namun, dari debut mengetahui itu, saya mulai bisa
menemukan irisan ilmu non-syari’at dan ilmu syari’at dalam Faro’idh. Lebih
tepatnya penerapan operasi hitung pecahan sesuai ketentuan pembagian warisan yang
diajarkan dalam ilmu Faro’idh.
Dalam ruang lingkup sempit
itulah Pak Muslim hadir mengisi kapling permanen dalam kehidupan saya. Jika secara
teknis Pak Muslim mengajari saya Faro’idh, secara lebih luas beliau mendidik saya
dalam banyak hal, termasuk pedagogis.
Pertama, Pak Muslim lah
yang menjadi inspirator utama dalam mendesain pembelajaran Matematika berbasis
cerita. Tujuannya sederhana: agar pembelajaran Matematika tidak hanya menjadi
utak-atik logika tanpa ada rasa berguna yang bisa dialami. Dulu, saya pernah
secara gamblang langsung menggunakan cerita laiknya permasalahan dalam Faro’idh
ketika pertama kali mengampu Matematika di MPTs NU TBS Kudus. Namun, berkat
saran Syarofis Si’ayah, permasalahan tersebut dimofidikasi agar lebih sesuai
dengan alur penalaran anak-anak.
Kedua, Pak Muslim pula yang
menjadi salah satu inspirator dalam memberikan gift kepada anak-anak
ketika pembelajaran. Ketika bersekolah dulu, Pak Muslim kadang memberikan
permasalahan Faro’idh untuk dipecahkan. Sebagai iming-iming, beliau memasang uang
Rp5.000 di papan tulis untuk diberikan kepada murid yang bisa memecahkan.
Kebetulan, saya pernah mendapatkan giveaway uang tunai tersebut. Meski
beberapa kali mendapat kritik terkait gift saat pembelajaran, saya tetap
melakukan. Selain sebagai bentuk pelestarian pengaruh guru saya, juga terdapat
referensi dari karya Imam al-Ghazali dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi terkait hal
ini.
Ketiga, Pak Muslim
menyarankan kepada saya untuk berdo’a setelah sholat wajib:
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا
مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
Doa yang termaktub dalam
surat al-Kahfi ayat 10 tersebut merupakan do’a Ashhabul Kahfi ketika berlindung
di dalam gua. Dalam doa tersebut, terdapat dua kata yang saya perhatikan
urutannya: رَحْمَةً dan
رَشَدًا. Peletakan رَحْمَةً
sebelum رَشَدًا ini seakan memberi pesan bahwa sebelum
meminta رَشَدًا, kita perlu mendapatkan رَحْمَةً
lebih dahulu. Hal ini pula
yang mendorong saya agar sebelum berupaya memberikan رَشَدًا dalam pembelajaran, saya harus bisa
memberikan رَحْمَةً lebih
dahulu.
Pak Muslim tentu memberi
pengaruh yang lebih banyak ketimbang yang bisa saya tulis secara singkat ini.
Tentunya pengaruh yang diberikan bukan hanya kepada saya seorang, melainkan
kepada banyak orang yang mengenal beliau. Buat saya pribadi, Pak Muslim adalah
salah satu manusia yang terus memotivasi (di-gugu) sekaligus
menginspirasi (di-tiru) saya. Motivator yang inspirator yang muncul dari
ruang lingkup sempit di dalam kelas yang terus berkembang sampai tanpa batas.
K.Rb.Po.140446.170924.21:52