Mengapa matematika, khususnya operasi hitung seperti pembagian bersusun, sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi murid? Pertanyaan ini menghantui banyak guru, akademisi, dan orangtua. Sering kali, kita menganggap kesulitan itu berasal dari murid. Namun, sebuah eksplorasi mendalam terhadap desain kurikulum menunjukkan bahwa masalahnya mungkin bukan terletak pada sang murid, melainkan pada "tangga" yang kita berikan padanya untuk menaiki puncak pemahaman.
Sebuah alur pembelajaran matematika yang dirancang secara radikal dan sistematis untuk murid kelas 5ABCDE MI NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dapat memberikan jawaban. Alur ini membedah setiap keterampilan—mulai dari penjumlahan hingga pembagian paling rumit—menjadi komponen-komponen terkecilnya—seperti badan saya. Hasilnya adalah sebuah kurikulum yang tidak hanya efektif secara pedagogis, tetapi selaras dengan cara kerja otak menurut neurosains dan merefleksikan prinsip-prinsip kearifan yang terkandung dalam Kaidah Fiqh Islam.
Prinsip Dasar: Gradualisme untuk Meringankan Beban Otak
Fondasi utama dari alur pembelajaran ini adalah prinsip gradualisme, sebuah pendekatan yang sangat menghargai keterbatasan kognitif manusia. Dalam kearifan Islam, prinsip ini dikenal sebagai At-Tadarruj fit-Tasyri'.
اَلتَّدَرُّجُ فِي التَّشْرِيْعِ
(At-Tadarruj fit-Tasyri')
“Gradualisme dalam penetapan hukum.”
Prinsip ini merujuk pada bagaimana syariat Islam diturunkan secara bertahap, tidak sekaligus, agar dapat dipahami dan diamalkan oleh umat manusia tanpa merasa terbebani. Dalam konteks pembelajaran, prinsip ini diterjemahkan menjadi manajemen beban kognitif (cognitive load). Neurosains modern menegaskan bahwa memori kerja (working memory) otak kita—tempat kita memproses informasi secara sadar—sangat terbatas. Ketika seorang murid dihadapkan pada terlalu banyak informasi atau langkah baru secara bersamaan (misalnya, menghitung pembagian sambil mengingat cara meminjam, mengali, dan mengurangi), memorinya akan kelebihan beban, yang berujung pada kebingungan dan frustrasi.
Alur pembelajaran ini menerapkan tadarruj dengan komplit. Pada materi penjumlahan, misalnya, konsep “menyimpan” tidak diajarkan sekaligus. Ia dipecah menjadi “menyimpan satu kali di puluhan”, “menyimpan satu kali di ratusan”, “menyimpan dua kali”, dan seterusnya. Setiap langkah adalah satu anak tangga kecil yang memungkinkan otak untuk fokus, berlatih, dan mengotomatisasi satu sub-keterampilan sebelum beralih ke anak tangga berikutnya.
Fondasi sebagai Kewajiban: Membangun di Atas Batu yang Kokoh
Sebelum membangun gedung yang tinggi, fondasinya harus kokoh. Alur ini sangat menekankan penguasaan total pada materi dasar sebelum melangkah lebih jauh. Hal ini selaras dengan sebuah kaidah fiqh fundamental:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
(Mā lā yatimmul wājibu illā bihī fahuwa wājib)
“Sesuatu yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban, maka ia pun menjadi wajib.”
Jika “kewajiban” utama murid adalah mampu menyelesaikan pembagian kompleks, maka kewajiban tersebut tidak akan pernah komplit jika ia tidak menguasai perkalian dan pengurangan. Lebih mendasar lagi, ia tidak akan bisa menguasai penjumlahan dan pengurangan jika tidak memahami konsep nilai tempat secara mendalam. Maka, alur ini menjadikan penguasaan nilai tempat (Tahap A) sebagai “kewajiban” pertama yang mutlak, karena tanpanya, semua operasi hitung hanyalah prosedur kosong tanpa makna.
Mencegah “Kerusakan” Sebelum Meraih “Manfaat”
Salah satu dampak paling merusak dari pembelajaran matematika yang buruk adalah kecemasan matematika (math anxiety). Alur ini, dengan pendekatannya yang sangat hati-hati, memprioritaskan pencegahan “kerusakan” ini di atas segalanya. Ini adalah cerminan dari prinsip:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Dar'ul mafāsid awlā min jalbil maṣāliḥ)
“Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.”
“Kerusakan” (mafsadah) dalam konteks ini adalah kebingungan murid, hilangnya kepercayaan diri, dan kebencian terhadap pelajaran. “Manfaat” (maṣlaḥat) adalah kemampuan menyelesaikan soal-soal sulit. Alur ini secara sadar memilih untuk mencegah kerusakan terlebih dahulu. Misalnya pada materi pembagian. Kesulitan-kesulitan seperti “meminjam melintasi angka nol” atau “menulis angka nol pada hasil bagi” diisolasi dan dilatih secara khusus dalam tahap-tahap tersendiri (Tahap M & N). Dengan menaklukkan “monster-monster kecil” ini satu per satu, murid terlindung dari “kerusakan” berupa kepanikan saat menghadapi soal pembagian yang kompleks.
Membangun Keyakinan, Menghilangkan Keraguan
Setiap tahap yang berhasil dilalui murid dalam alur ini berfungsi sebagai blok bangunan untuk kepercayaan dirinya—seperti saat bermain Roblox dan Minecraft. Keberhasilan demi keberhasilan kecil ini menumbuhkan keyakinan yang kokoh, sesuai dengan semangat kaidah:
اَلْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
(Al-Yaqīnu lā yazūlu bisy-Syakk)
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
Dengan menguasai pembagian sederhana tanpa sisa (Tahap K), murid mendapatkan “keyakinan” (yaqīn) pada kemampuannya. Ketika kemudian diperkenalkan dengan konsep “sisa” (Tahap L) yang mungkin menimbulkan “keraguan” (syakk), ia sudah memiliki fondasi keyakinan yang kuat untuk berpijak. Proses ini terus berulang, membangun murid yang tangguh secara mental, yang yakin pada kemampuannya karena setiap keterampilan telah dibangun di atas fondasi penguasaan, bukan hafalan yang rapuh.
Puncak Pemahaman: Logika di Balik Angka
Puncak dari alur pembelajaran ini adalah Tahap Q: Aplikasi dan Interpretasi Sisa Pembagian. Di tahap inilah murid beralih dari sekadar menjadi “kalkulator bernyawa” menjadi seorang “ḥayawānun nāṭiqun”. Murid ditantang untuk memutuskan apa arti sisa pembagian dalam konteks cerita: haruskah dibulatkan ke atas, ke bawah, atau sisa itu sendiri adalah jawabannya? Proses pengambilan keputusan ini sangat mirip dengan penerapan kaidah fiqh yang lain:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
(Al-Ḥukmu yadūru ma'a 'illatihi wujūdan wa 'adaman)
“Sebuah hukum bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat (penyebab efektif)-nya.”
Dalam hal ini, “hukum” adalah keputusan untuk membulatkan ke atas atau ke bawah. “‘Illat” atau penyebabnya adalah konteks cerita. Jika konteksnya adalah, “Berapa bus yang dibutuhkan agar semua terangkut?”, maka ‘illat ini mengharuskan hukum pembulatan ke atas. Namun, jika konteksnya, “Berapa kardus penuh yang bisa dibuat?”, maka ‘illat yang berbeda ini menghasilkan hukum yang berbeda pula. Ini adalah latihan penalaran yang menunjukkan bahwa tujuan akhir dari matematika bukanlah angka, melainkan kemampuan bernalar.
Penutup
Kurikulum yang dirancang dengan pendekatan bertahap ini adalah sebuah peta jalan yang menghormati arsitektur kognitif murid dan selaras dengan prinsip-prinsip kearifan yang telah teruji zaman. Dengan memprioritaskan pemahaman fundamental, mencegah frustrasi, membangun keyakinan, dan berpuncak pada penerapan logika, pendekatan ini memiliki potensi untuk mengubah ruang kelas matematika dari arena kecemasan menjadi sebuah gelanggang penguasaan, ketika setiap murid memiliki kesempatan untuk berhasil.
K.Jm.Pa.140247.080825.10:49