Setiya Utari (25 Juli 1967 — 08 Juni 2020)
|
“Jangan jadi
orang biasa. Dengan menjadi orang luar biasa, sejarah akan mencatat kita.
Selain untuk diri sendiri, kita harus bisa jadikan orang lain luar biasa.”
— Setiya
Utari pada 4 Oktober 2012 di Laboaratorium Fisika Lanjutan I UPI
|
Siang
hari pada 8 Juni 2020 saya dikagetkan oleh kabar bahwa Setiya Utari (Buk Ut) telah
berpindah alam. Kabar tersebut saya peroleh kali pertama dari Dini Fitriani
melalui telepon pukul 12.06, yang langsung saya konfirmasi kepada Muhammad Gina
Nugraha (Pak Gin Gin) 2 menit kemudian. Lebih lanjut Pak Gin Gin meneruskan
pesan teks WhatsApp terakhir yang dikirim melalui kontak Buk Ut ke grup Fisika
UPI pada 8 Juni 2020 pulul 05.20:
Assalamualaikum...
Wrwb...
Aku
mencintai alam semesta dengan segala isinya....
Sehat
dan bahagia selalu ... Aamiin
Alfatihah....
|
Ketika
saya periksa kontak Buk Utari, tertulis bahwa terakhir dilihat pada hari itu
pukul 05.36.
Mestinya
kabar tersebut saya terima lebih cepat, andai telepon Dini pukul 11.40 langsung
saya jawab. Malah agak lebih cepat andai Pak Gin Gin tidak mengirim pesan
secara broadcast, seiring perubahan kontak ponsel saya. Namun, yang
jelas kabar tersebut benar. Buk Ut yang hadir ke Bumi pada Selasa Pon, 17 Robī’ul
Akhīr 1387 H. / 25 Juli 1967 TU. berpindah alam pada Senin Kliwon, 16 Syawwāl
1441 H. / 8 Juni 2020 M. dalam usia 52 tahun 318 hari — yang nyaris sama dengan
usia Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ġozzālīy ketika pindah alam.
Pada
malam hari sebelum Buk Ut berpindah alam, ialah 7 Juni 2020, nama beliau masih
saya sebut dalam percakapan dengan wife in the making Wahyu Eka Saputri
dan Fatimah Afifatuttohiroh yang meminta saran terkait proposal skripsi. Wajar
kalau kedua orang tersebut turut kaget setelah menerima kabar Buk Ut berpindah
alam.
Dulu
Buk Ut kerap meminta saya agar dalam merencanakan riset, harus sudah bisa
menyebutkan secara rapi dan rinci: (1) tujuan riset; (2) data yang dibutuhkan;
(3) instrumen yang dapat digunakan; serta (4) metode yang bisa dipilih. Keempat
hal ini yang biasa saya sampaikan sekaligus “menghidupkan” nama Buk Ut dalam
obrolan dengan beberapa rekan saya terkait riset.
Nama
Buk Ut memang sering saya sebut karena beliau merupakan satu dari tiga orang
guru utama yang membangun pondasi perspektif saya secara utuh dan menyeluruh. Peran
Buk Ut bagi saya laiknya al-Sayyidah Nafīsah bint Amīr al-Ḥasaniyyah bagi Muḥammad
ibn Idrīs al-Syāfi’ī. Letak perumpaan ialah status sex yang sama-sama
perempuan serta menjadi orang paling berpengaruh yang dijumpai di urutan
ketiga. Kita tahu semua bahwa perjumpaan al-Sayyidah Nafīsah bint Amīr al-Ḥasaniyyah
dan Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi’ī di Kairo terjadi setelah founder
madzhab Syāfi’ī tersebut telah menerima pendidikan dari Mālik ibn Anas al-Aṣbaḥīy
di Madinah dan Muḥammad ibn al-Ḥasan al-Syaybānī di Wāsiṭ.
Sejak
meninggalkan Departemen Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) pada 21 April 2017 silam, saya masih rutin menjumpai Buk Ut setiap tahun.
Tahun 2018 kami berjumpa 2 kali, pada 8 Juli ketika masa libur akhir tahun
pembelajaran di madrasah serta 24 November ketika pelaksanaan Seminar Nasional
Fisika ke-4 (SiNaFi IV). Tahun 2019 lalu kami juga berjumpa ketika pelaksanaan
SiNaFi 5.0 pada 23 November 2020. Percakapan yang kami alami dalam setiap
perjumpaan turut membahas secara tuntas pembelajaran yang saya lakoni maupun
keseharian yang kami jalani.
Salah
satu percakapan terbaik dengan Buk Ut ketika saya sudah meninggalkan UPI ialah saat
kami membahas kelanjutan pendidikan formal pada 8 Juli 2018. Pada waktu itu
saya menceritakan bahwa untuk saat ini tidak melanjutkan pendidikan formal ke
jenjang S2 karena alasan niat. Buk Ut kemudian menyarankan agar saya
tetap serius dengan pembelajaran yang dilakoni di madrasah dan pondok pesantren
serta tak ragu menceritakan kepada khalayak melalui jurnal akademik maupun paper
konferensi.
Ungkapan
paling mengejutkan ialah ketika Buk Ut mengungkap “garansi” bahwa kalau saran
tersebut dilakukan tak sampai 2 tahun saya akan matang dalam memandu
pembelajaran serta memiliki publikasi sebanyak 10 jurnal. Meski ketika menyimak
“garansi” itu nyaris tak percaya, tapi saran bernada tantangan yang
membangkitkan angan itu juga terasa asik andai dapat terwujud menjadi kenangan.
Beruntung sebelum Buk Ut pindah alam, saya sudah bisa mengikuti step by step
saran tersebut. Beruntung pula publikasi sebanyak 10 jurnal sudah dapat mewujud
pada 21 April 2020 ketika Edukatif yang dikelola oleh Fadhilaturrahmi
menerbitkan artikel saya.
Kini
ketika Buk Ut tak lagi bisa disapa melalui WhatsApp maupun diajak mengobrol
ketika saya main ke Bandung, saya hanya bisa berharap agar beliau senantiasa
mendapat riḍō Allōh subḥānahu wa ta’ālā sekaligus bersyukur memiliki pengalalan
dididik secara langsung oleh beliau yang menjadi pembimbing akademik, pengajar
dalam perkuliahan, pembimbing sekaligus penguji skripsi, maupun pembimbing
riset literasi saintifik setelah kuliah S1.
Debut
pertemuan saya dengan Buk Utari terjadi pada 10 Agustus 2012 ketika saya ikut
acara buka bersama para punggawa Departemen Pendidikan Fisika UPI. Saya ikut
bersama Sherly Yulidarti, Uwais Al Qorni Akbar, Adi Lukman Ghofur, Maryam
Musfiroh, dan Lailul Munjidah setelah diajak oleh Pak Agus Jauhari. Harusnya
debut pertemuan kami lebih awal karena beliau memiliki jadwal mengisi
matrikulasi. Sayang saat itu beliau sedang berhalangan.
Dalam debut
pertemuan tersebut, Buk Utari mengungkap tuturan yang membuat saya ingin segera
membuktikan.
“Tak ada dosen di UPI yang lebih ramah pada
mahasiswanya selain di Fisika,” ungkap beliau yang memfoto saya bersama Pak
Agus Jauhari.
“Iya tah Buk?” tanya saya sembari menunjukkan raut
wajah penasaran.
“Coba cari saja,” begitu jawab beliau.
|
Belakangan saya membuktikan bahwa ungkapan Buk Utari
memang tepat. Dosen di Pendidikan Fisika memang ramah dan profesional. Mereka
bisa terlibat interaksi intim dengan tetap semadyana (objective) dalam bekerja.
Dosen di Pendidikan Fisika bisa hebat sebagai individu
dan sebagai bagian tim yang padu. Suasana yang dibangun sejak lama terus bisa
dilantan dalam waktu panjang. Suasana hangat seperti ini bisa memberikan
kenyamanan sendiri bagi orang yang baru bergabung, entah sebagai pengajar,
staf, maupun pelajar di sini. Tidak mudah membangun suasana interaksi intim
yang sama-sama memahami batasan dalam kebersamaan.
Buk Utari dan saya bertemu lagi untuk keempat kalinya
pada 04 Oktober 2012 dalam acara kumpul PA (pembimbing akademik), kumpul
perdana antara dosen PA dan anak asuhnya. Pertemuan ini terjadi setelah
beberapa hari sebelumnya saya ‘memperkenalkan’ diri sebagai anak asuh. Oleh Buk
Utari, saya diminta untuk mengumpulkan rekan satu PA dan segera mengadakan
pertemuan perdana sebagai ajang perkenalan. Urutan keempat terjadi karena Buk
Ut sebelumnya menjadi pengisi acara ketika masa orientasi kampus (MoKa) yang menjadi
pertemuan kedua kami, serta pertemuan ketiga terjadi pada saat saya
‘memperkenalkan’ diri.
Pada masa itu, hanya Buk Utari selaku dosen PA untuk
angkatan saya, yang mengadakan pertemuan ini. Hal ini berdampak sangat bagus
bagi perjalanan kami—anak asuh beliau—selama perkuliahan. Buk Utari memiliki
sederet kesibukan yang memaksa tak selalu bisa bertemu anak asuhnya setiap
saat. Pertemuan perdana PA ini juga menjadi ajang pemberian sederet pesan dari
Buk Utari kepada anak asuh beliau*).
“Kita
harus bersyukur telah diberi kesempatan menimba ilmu di UPI, terutama yang
mendapatkan beasiswa. Untuk itu, sebagai bukti dari rasa bersyukur itu, kita
harus bekerja keras, memanfaatkan yang ada untuk mengeruk ilmu yang ada di
UPI ini. Tak boleh malas. Dengan begitu, kesempatan yang didapatkan tak
terbuang sia-sia.” ungkap beliau dalam membuka sederet pesan tersebut.*)
|
Salah satu pesan yang diisampaikan pada 04 Oktober
2012 di Laboaratorium Fisika Lanjutan I dalam acara kumpul perdana dengan anak
asuh akademik tersebut bisa mengakar meski dirasa sebagai klise yang diafdruk
berulang. Mungkin karena diberikan dari hati oleh orang yang sudah membiasakan
bersikap seperti itu, jadi bisa sampai ke hati penerimanya dan mengendap.
Dalam pertemuan perdana PA itu, Buk Ut langsung tampil
keras dan agresif. Beliau, yang juga menjadi ketua program studi Pendidikan
Fisika, berkata kepada anak asuhnya apa yang dituntut departemen dari kami. Itu
awal yang bagus. Salah satu bagian utama dalam hubungan guru dan siswa adalah
bahwa guru harus membuat siswa bertanggung jawab atas tindakannya,
kesalahannya, tingkat penampilan, dan hasilnya. Kita semua ada pada zaman yang
mementingkan hasil. Hasil yang maksimal dan konsisten bisa diperoleh melalui
proses yang dibiasakan.
Di luar urusan akademik, Buk Utari adalah sosok yang
tenang. Beliau rajin menyapa dan kami bisa mengobrol mengenai banyak hal.
Beliau orang yang ramah. Tetapi, kalau sudah menyangkut urusan akademik—pada masa-masa perkuliahan—beliau jauh berbeda. Saya selalu dapat mengerti posisi
Buk Utari. Saya dapat mengerti perubahan drastis pada diri beliau begitu “kick
off” kuliah dimulai. Sebagai pendidik, beliau ingin semua murid tidak
menjadi orang biasa. Terlebih bagi saya yang notabene menjadi anak asuh beliau.
Buk Utari tidak akan membuat murid beliau
bersantai-santai. Beliau akan memarahi kami kalau prestasi kami turun. Beliau
selalu ingin murid beliau tampil maksimal dengan terus menjaga semangat
kemauan. Ketika kemauan sudah ada, pasti hasilnya maksimal. Kalau tidak
maksimal, kemauan belum ada atau kalau diklaim sudah ada hanya nonsense.
Ketika berbicara dengan saya yang prestasinya tak
sesuai harapan, boleh jadi beliau berkata: “Itu tadi sampah,” tapi beliau
melanjutkan dengan, “untuk ukuran orang seperti kamu.” Lanjutannya ini
berfungsi untuk membantu saya bangun sesudah pukulan awal. Teguran, lalu
diimbangi dengan sanjungan. “Kenapa kamu berbuat seperti itu? Kamu bisa lebih
baik.”
Buk Utari rajin mengembangkan penguasaan terhadap
bidangnya. Tidak common sense jika murid diberi kesempatan berkata
kepada diri sendiri, “Guru tidak mengerti apa yang saya katakan.” Jika murid kehilangan
kepercayaan kepada pengetahuan gurunya, mereka pun akan kehilangan kepercayaan
kepada guru. Penguasaan terhadap bidang yang digeluti harus selalu dijaga dan
dikembangkan sepanjang waktu.
Dari sudut pandang saya, Buk Utari orang yang
konsisten menjaga tujuan awal kami di Pendidikan Fisika: kuliah. Beliau tidak
pernah melarang murid beliau mencari minat di luar. Ketika masih kuliah dulu
beliau juga aktif di organisasi himpunan. Namun, tak ada keraguan bahwa
kewajiban kami adalah kuliah.
Kita boleh saja memiliki minat di luar: saya suka menonton
2NE1, Josua Timotius Manik aktif di organisasi dan ngobrolin Manchester United, satu dua teman saya suka aktif dalam
kegiatan pengembangan bakat. Namun, jangan sampai minat di luar itu mengganggu
kuliah kita. Tujuan utama, yang juga menjadi kewajiban saya di Pendidikan
Fisika adalah kuliah. Mau tidak mau harus saya jalani semaksimal mungkin. Untuk
minat di luar, sifatnya hanya ke-sunnah-an saja, boleh ditanggalkan
terutama ketika sudah menghambat kewajiban.
Buk Utari memang seorang dengan energi, keberanian,
dan darah yang panas, dengan naluri tajam pada pendidikan ilmu alam dan
strateginya. Beliau menjadi orang yang banyak berpengaruh kepada saya sejak
kami memulai kebersamaan kami. Buk Utari mengambil alih banyak tanggung jawab
untuk memastikan bahwa diri saya tetap penuh semangat. Saya tidak bisa
mengesampingkan bantuan semacam itu dari beliau.
Saya butuh kepercayaan diri, sedikit keberanian. Buk
Utari tak pernah takut apapun, beliau orang yang perkasa. Beliau bisa diajak
memandang beragam sisi permasalahan. Beliau tidak hanya mempertimbangkan
dirinya, tetapi juga ada yang lain. Dan itu bagus untuk saya. Contoh bagusnya
adalah ketika beliau memberikan buku teks standar tentang fisika untuk
perguruan tinggi.
Ada banyak buku standar yang ditawarkan, tapi kalau kepada
saya Buk Utari lebih menyarankan buku fisika yang ditulis Douglas C. Giancoli.
Meski saya lebih sering melihat Buk Utari memakai buku fisika yang ditulis oleh
Paul A. Tipler. Buk Ut juga yang menyarankan kepada saya agar memakai buku
metode riset dari Jack R. Fraenkel, meski beliau lebih kerap tampak memakai John
W. Creswell.
Menguasai satu buku standar adalah langkah awal dalam
belajar. Semua buku fisika isinya sama saja, yang beda adalah pendekatannya.
Buku yang ditulis Douglas C. menggunakan pendekatan konseptual yang cenderung
memakai operasi matematika sederhana. Saya nyaman menggunakan buku ini. Buku
yang ditulis Jack R. Fraenkel juga menggunakan bahasa yang sederhana dan tampilannya
nyaman dibaca. Pendekatan, bahasa, dan tampilan yang tak cocok sering berdampak
pada rasa bosan yang muncul. Dan Buk Utari senantiasa menghindari tiga perkara
ini, yang membuat pertemuan dengan beliau tak pernah membosankan. Apalagi pola
tanda tangan kami memiliki kemiripan.
*) Pesan dari Bu Utari saat kumpul perdana PA adalah:
[1]
Bersyukur
Kita harus
bersyukur telah diberi kesempatan menimba ilmu di UPI, terutama yang
mendapatkan beasiswa. Untuk itu, sebagai bukti dari rasa bersyukur itu, kita
harus bekerja keras, memanfaatkan yang ada untuk mengeruk ilmu yang ada di
UPI ini. Tak boleh malas. Dengan begitu, kesempatan yang didapatkan tak
terbuang sia-sia.
[2] Kuasai Konsep-Konsep Fisika
dan Bahasa Inggris
Dua hal
ini tak bisa ditawar lagi. Ini sudah batas minimal yang harus kita kuasai.
Menguasai konsep-konsep Fisika, berarti harus bisa menghubungkan segala yang
ada di dunia ini dengan konsep-konsep Fisika. Selain itu, untuk dapat
berkomunikasi dengan baik, harus menguasai Bahasa Inggris. Karena bahasa itu
adalah bahasa internasional.
[3] Siap Menerima Kesempatan
Mendadak
Terkadang
kesempatan bagus datang mendadak. Mau tak mau kita harus menerimanya dan
mampu memanfaatkannya. Mungkin kesempatan yang sama tidak akan kita temui
lagi.
[4] Gizi Bagus dan Istirahat Cukup
Dengan
gizi yang bagus, selain tubuh sehat, pikiran juga OK. Tak usah mahal-mahal,
yang penting kebutuhan gizi terpenuhi. Istirahatpun demikian. Istirahat cukup
bukan berarti banyak tidur. Tidur maksimal 3 jam sehari. Biarpun sedikit,
namun asal efektif, pasti istirahat tetap cukup.
[5] Posisikan Diri Sebagai Pemangku
Kebijakan
Dengan
ini, kita bisa menjalankan kebijakan sesuai keinginan kita. Tentunya tetap
bertanggung jawab. Untuk itu, kita harus membuat orang lain percaya pada kita
dan kita harus bisa dipercaya serta bisa bekerja sama dalam tim.
[6] Harus Aktif
Tak boleh
malu jika belum tahu. Apapun yang terjadi, kita harus bisa tahu, tak boleh
tidak.
[7] Belajar Untuk Mengabdi
Kita harus
selalu bisa mengabdi, baik untuk agama, negara, maupun masyarakat.
Ujung-ujungnya persembahkan yang kita lakukan dan usahakan pada Tuhan.
[8] Profesional
Di mana
saja dan kapan saja kita harus profesional. Tak boleh subjektif, harus
objektif. Dengan begini, di manapun kita berada kita akan melakukannya
semaksimal mungkin, minimal sesuai target.
[9] IPK Minimal 3,4
Selain
dengan belajar, harus sering konsultasi dengan dosen dan pakar. Buku text yang disarankan juga harus punya
sendiri. Untuk masalah buku, jangan pelit. Anggaran untuk buku tak terbatas.
Selama masih punya uang buku harus punya.
[10] Jangan Jadi Orang Biasa
Dengan
menjadi orang luar biasa, sejarah akan mencatat kita. Selain untuk diri
sendiri, kita harus bisa jadikan orang lain luar biasa.
|
K.Rb.Pa.181041.100620.00:44
Pertemuan dengan Buk Utari pada 20 April 2017
|