— scary monsters and nice sprites
Sebelum
menyadari kalau saya perokok, saya tak pernah bicara dengan Jeffa L. Van Bee. Maksudnya, tak pernah mengobrolkan perkara
penting bagi saya dengannya. Kami memang biasa saling menyapa walakin terlibat
obrolan sampai menjamah ranah pribadi adalah hal berbeda. Padahal Jeffa
termasuk orang pertama yang segera saya jumpai di Bandung, sebelum Maryam
Musfiroh malah.
Satu waktu
ketika matrikulasi, dia mendapati saya sedang menikmati rokok di kamar selepas
adzan Isya’. Jeffa sempat terpana dan segera tertawa melihat peristiwa yang
disaksikannya ini. Lalu dia mulai bercerita kalau dia juga perokok, meski
diam-diam. Diam-diam yang gagal, lha wong
kebiasaannya saya bacotin terus ke
lingkungan.
Perlahan
malar Jeffa dan saya menjadi bersahabat lekat. Bertahan saling menghormati dan
mengapresiasi setiap keseharian yang dijalani masing-masing. Hanya saja setelah
sepaket adik kelasnya—ialah Dewi Maisaroh dkk.—pada 01 Oktober 2015 bilang pada
saya bahwa mereka diminta oleh Jeffa untuk diam saja pada saya, hubungan Jeffa
dan saya tampak sudah patah.
Saya memang
sulit menerima sikap yang demikian. Alih-alih mengatakan pada saya untuk jaga
jarak dengan anak-anak, Jeffa lebih memilih mengatakan kosokbalinya. Ya sudah.
Tak ada yang perlu disesali, suka dan duka yang dialami tak istimewa karena
semua manusia mengalaminya.
Setelahnya,
saya terus merasa sulit untuk kembali berinteraksi seperti sebelumnya, bebas
bercakap dari perkara yang disangka remeh sampai peristiwa yang dianggap
penting. Siapa yang menjauhi bukan hal penting. Bisa jadi saya
yang menjauhi karena memang sakit hati. Mungkin juga dia yang menjauhi karena
saya memang bukan orang baik dan diciptakan untuk mengalahkan kekejaman Iblis—
di sini saya bersaing ketat dengan Zlatan Ibrahimović.
Atau Jeffa dan saya memang tak bisa berjalan bersama melainkan hanya sempat
berpapasan di perempatan saja.
Interaksi
intim mengungkap sisi terbaik dan terburuk manusia karena taruhan perasaannya
sangat besar. Dalam interaksi intim, saya biasa mengungkapkan segala yang
dirasa tanpa peduli dengan dampaknya. Tak semua manusia siap terlibat suasana
demikian. Hingga menciptakan suasana baru saat saling memendam rasa dalam diam.
Tak jarang
rasa yang dipendam dirasakan sebagai getaran pembanting suasana. Dalam keadaan
seperti ini, asyik rasanya mementaskan satu set
perilaku yang mengesankan saya layak dibenci. Kesan yang bisa membuat suasana
menjadi sarana katup pelepasan rasa yang dipendam.
Kesan
seperti itu juga berguna buat memancing amarah sekerumunan orang
untuk memudahkan saya dalam mengoreksi diri sendiri. Amarah kerap memudahkan dalam mendapat perkataan yang
mengungkap sisi buruk saya. Hal yang wajar, pasalnya mata yang penuh amarah
memang cenderung lebih mudah memandang segala yang tampak nista.
Hubungan
Jeffa dan saya mungkin memang sudah patah. Walau demikian, saya mengenang masa-masanya bersama saya dengan rasa
bangga dan syukur. Beruntung bisa kenal baik dengan lelaki keren ini. Setidaknya dia
yang menemukan saya ketika saya mulai rapuh di tahun penebalan. Saat saya belum sadar bahwa akan memasuki masa-masa
terdampar di keruhnya satu sisi dunia pada tahun penajaman.
Jeffa saat itu muncul dengan kesadaran
diri. Dia memahami kekuatan, kelemahan, dan pandangan—tak jadi soal kalau saat
itu dirinya masih gagap dengan penempatan, kredit lebih banyak ketimbang defisit. Interaksi dia dengan
saya mulai terbangun erat. Meski tak ada garansi bisa kuat, Jeffa berinteraksi disertai rasa empati. Rasa empati yang
mewujud pada kemauannya meluangkan waktu untuk terlibat obrolan.
Jeffa dan
saya perlahan mulai terlibat obrolan sejak saat itu. Entah obrolan yang
dianggap serius maupun yang dipandang picisan. Obrolan
selalu penting bagi saya, salah satu cara untuk tak mem-‘benda’-kan
akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan untuk
di-‘pekerja’-kan terus menerus.
Wajar kalau
akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda [اسم] di dalam al-Quran [القرآن] walakin berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja [فعل]. Wajar juga kalau perintah belajar dan membangun lingkungan
dituturkan dalam bentuk kata kerja present
dan future [الفعل المضارع], bukan kata
kerja past [الفعل الماضي]:
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
[القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢]
Melalui
obrolan juga saya bisa menemukan kesamaan antara Jeffa dan saya. Rasa sama
itulah yang memantik keharmonisan antara dia dan saya. Tak dimungkiri, dalam
beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Jika ada satu titik
yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang
menceraikan?
Pada
masanya, Jeffa berkilau seterang kirana. Waktu luang yang dia berikan merupakan
anugerah megah tersendiri bagi saya. Saya masih mengenang saat mengalami under pressure November 2008 silam. Saat itu, hanya ada satu makluk Tuhan yang mau
berada di sisi saya. Bersedia meluangkan waktunya untuk terlibat obrolan dengan
saya sebagai cara paling cocok untuk bisa mengendalikan diri.
Belakangan
saya baru mengerti kalau satu masalah saat 06 Agustus 2015 berdampak domino.
Satu masalah muncul menghantam sisi lain yang ikut bermasalah. Salah satu sisi
yang bermasalah ialah tak ada ruang bagi saya untuk melakukan déjà vu 2008, atau minimal 2014.
Generasi
lawas sebelum 2011 menawarkan uluran tangan, namun saya tolak meski sempat
kecolongan. Saat ada kesempatan untuk membuat catatan baru, buat apa saya
lepaskan? Lagipula kalau memang saya mengalami peristiwa seperti dulu, bukankah
menjadi masa-masa mekarnya bunga baru? Walau banyak bunga layu sebelum
berkembang.
Masa-masa
itu saya memang sedang ambruk. Nyaris saja kehilangan my faith andai Nur Hidayati, sahabat lekat saya sejak 31 Oktober
2008, tak tiba-tiba menghubungi saya melalui telepon tepat 14 tahun setelah
Freddie Mercury wafat. Saya juga merasa kesulitan untuk bisa bercengkerama
dengan orang lain dalam suasana empat mata, termasuk Jeffa.
Selalu saja
ada mata lain yang terlibat dan bukan keadaan menyenangkan untuk mengobrolkan
perkara pribadi dalam suasana seperti ini. Sialnya, saat saya mendapat
kesempatan langka yang sedang dicari ini, muncul obrolan tak penting seperti
agama, negara, dsb. dst.. Bahkan tak sekalipun muncul obrolan yang penting
berupa industri entertainment.
Entertainment yang sudah
menjelma menjadi jajanan industri memang satu sisi penting bagi saya. Entertainment memiliki sisi yang bisa
menggembirakan rasa. Saat agama, negara, dan kebiasaan lingkungan sulit
menggembirakan rasa, entertainment
menjadi sarana paling enak melepas rasa lara. Entertainment memiliki unsur yang dapat menyentuh sisi al-insan [الإنسان].
Wajar kalau
Park Bom [박봄] (Bom) yang tak di-reken oleh sebagian orang sebagai sosok
agung memiliki daya dorong luar biasa pada saya. Kebetulan juga banyak sisi
personalitas maupun identitas dari kami yang memiliki keselarasan. Perempuan
kelahiran 24 Maret ini sanggup membawa batin saya larut
terhadap beberapa perkara dan peristiwa. Saking hanyut emosi itu sampai
pementasan perilaku tak bisa durunut dengan nalar biasa.
Park Bom seperti
‘Alī bin Abī Thālib [علي بن أﺑﻲ طالب] dan Ā’ishah
bint Abī Bakr [عائِشة بنت أبي بكر], dua penghibur bahadur yang biasa terlibat bacot-bacotan pada masanya. Mereka
sama-sama menjadi sosok yang sangat dicintai oleh sekerumunan dan begitu
dibenci oleh sekerumunan lain. Yang jelas, apapun perlakuan yang diterima Park Bom,
dia tetap bisa membuat banyak orang ceria meski dia sendiri bilang dirinya
tidak happy.
Segala
perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti
berguna bagi keberlangsungan keseharian ummat
manusia. Kebergunaan yang biasanya mewujud dalam rasa gembira menimbulkan
kekaguman hingga memberi semangat untuk melakukan peniruan. Peniruan adalah
wujud pujian abadi paling luhur yang dilandasi dengan kekaguman.
Meniru bikin
asbak dari kaleng bekas minuman (diseburt Asbak Bee saja) misalnya. Sebagai
perokok, mengakali keadaan untuk tetap merokok sambil menciptakan kebersihan
lingkungan dengan membuat asbak dari kaleng bekas adalah hal yang biasa, tak
istimewa. Menjadi mubdi’ (pelaku bid’ah,
orang yang kreatif, creator) dalam
membuat asbak bukanlah catatan mengagumkan karena tidak dapat meningkatkan gross
domestic product (GDP) di negeriku
Indonesia. Tanya saja pada Sri Mulyani Indrawati atau Marthatinova Hari Safitri.
Jeffa
pertama kali membuat Asbak Bee menggunakan kaleng bekas Larutan Cap Badak rasa apel. Saat itu saya sudah biasa menggunakan
asbak dengan bahan yang sama, kaleng bekas minuman, Bintang pasnya, cuma beda pembuatannya. Saya membuatnya dengan
memotong kaleng menjadi dua bagian, mirip seperti gelas minum. Sementara Jeffa
membuat dengan memotong bagian pinggir.
Menurut saya
lebih bagus buatan Jeffa, jadilah saya menirunya dengan sedikit perubahan.
Potongan Jeffa berbentuk persegi panjang. Sedangkan saya lebih suka memotong
dengan bentuk oval, lebih dekat
dengan lingkaran. Satu peristiwa lucu terjadi saat saya hendak melakukan
peniruan pertama.
Mulanya satu
siang saya melihat AM Fajar minum Cincau
Cap Panda rasa grass jelly, saya
memesan kaleng bekasnya. Fajar ini, entah pas diciptakan Allah dulu antrian keberapa, setiap makan dan minum
lama sekali. Seperti lamanya Manchester City mengejar gelar juara UEFA
Champions League!
Saking
lamanya menunggu Fajar menghabiskan minuman kaleng itu, saya sempat tertidur.
Begitu bangun, saya mendapati kaleng tersebut sudah gepeng.
“Lha, kok gini Nek (diambil dari
Bone, sapaan wajar Fajar)?” tanya saya.
“Oh, lupa, tadi di-mainin Jeffa,” jawabnya datar, sedatar
gebetan di-deketin olehnya.
“Oh, ya sudah kalau gitu, besok kalau beli lagi kasih ke aku
ya,” tanggap saya.
“Sip,” tukas Fajar.
Lalu saya
pindah ke kamar, melanjutkan tidur.
Sebelum mata
benar terlelap, suara percakapan Jeffa dan Fajar terdengar. Entah apa yang
mereka bicarakan, saya tak bisa menyimak dengan rapi dan rinci. Jadi ingatan
saya melesat jauh di sini. Yang jelas, selepas maghrib pada hari itu, tiba-tiba
Jeffa memberikan kaleng bekas seperti yang di-mainin siang harinya. Terbayang bagaimana ruang rasa menanggapi perilaku demikian 'kan?
Jeffa
dianugerahi talenta bisa ngemong. Ngemong yang saya maksud adalah tahu
diri bahwa manusia adalah an-naas [الناس]. Sisi manusia yang bisa merasa tidak mampu melakukan
segala-galanya sendiri sehingga merasa perlu untuk terlibat dalam kerumunan.
Kelebihan dan kekurangan dipadukan agar menciptakan keteraturan dalam
kebersamaan.
Singkatnya,
Jeffa dianugerahi talenta menjadi pengemong. Sebagai pengemong, Jeffa memang
tak melulu tampil sebagai yang terdepan, namun perannya bisa dirasakan. Mirip
Andra Junaidi Ramadhan (Darjoen) kalau di DEWA19 maupun Park San-da-ra [박산다라] (Dara) kalau di 2NE1 [투애니원].
Saat waktu
merentang, interaksi dengannya bisa jadi berkurang. Walau begitu, rekaman
kebersamaan elalu memberi rasa senang. Pengalaman bersama Jeffa adalah
masa-masa istimewa. Satu keberuntungan saat sedang rapuh terdampar di keruhnya
satu sisi dunia. Satu perjumpaan fenomenal, meski relasi di dalamnya mungkin
tidak kekal.
Catch Me If You Can
|