—
rebel heart living for love
Islām «الإسلام» (Islam)
hadir dalam sejak awal bentangan perjalanan saya dimulai. Sampai sekarang pun,
sepanjang mengayuh perjalanan, Islam tak pernah cuti di hati. Walau seringkali tak
pernah saya tampakkan dengan kentara. Hampir hanya tampak oleh sebagian orang
yang peka saja.
Dengan demikian, banyak hal yang menyinggung
perjalanan saya melalui tata cara Islam. Sebagian singgungan hanya sejenak
saja, sebagian lainnya berderap sanggam. Karenanya sampai saat ini dan semoga
saat nanti saya terus berusaha untuk menjaga, mengetahui, memahami, mengerti,
mengenali, menyatu dalam ajaran Islam. Hanya saja saya termasuk dari beberapa
orang yang tidak kena kalau diwedarkan surga as well as neraka yang mengancam.
Salah satu singgunan sanggam melalui tata cara Islam
dalam perjalanan saya ialah ‘Ā’isha «عائشة» (Aisha). Seorang perempuan yang penuh gairah membuncah.
Sebagai sosok besar dalam narasi besar, Aisha adalah perempuan pertama yang saya
kagumi. Kadar kekaguman pada Aisha, selain masuk dalam rencana penamaan anak,
terlihat dari peranannya yang menjadi sejenis prototype, semacam pondasi.
Banyak sosok perempuan yang dikagumi kemudian tak
jauh-jauh dari pengenalan saya terhadap istri Muḥammad «محمد» (Muhammad) ini. Sebut saja Paris Whitney Hilton hingga Lee
Chaelin, semuanya perempuan mbeling—bengal
namun memiliki muruah—dengan leadership
ability kelas tinggi. Barangkali karena Aisha pula saya cenderung lebih
mudah bergaul dengan perempuan tomboy.
Gambaran perdana saya terkait Aisha ialah dirinya
orang Islam pada masa awal yang pemberani. Aisha dilahirkan dan mengalami
perjalanan pada masa ketika al-Qurʾān «القرآن» (Alquran) diturunkan.
Diturunkan pada lingkungan dengan keadaan yang terasa melukai hati. Kala itu,
perempuan lebih dilihat manfaatnya sebagai barang ketimbang mertabatnya sebagai
orang, antara lain diperlakukan sebagai barang warisan.
Kalau ungkapan Aceh menyatakan “hana peng, hana inong” (tak ada uang, tak ada perempuan), saat itu
justru peng dianggap sama dengan inong. Dalam keadaan semacam inilah
Aisha hadir sebagai pendorong. Pendorong pada perempuan, juga mereka yang
martabatnya direndahakan, untuk tak begitu saja menerima keadaan lingkungan.
Keadaan lingkungan yang timpang perlu untuk diubah agar terbangun keseimbangan.
Tentunya dengan dorongan yang ditunjukkan demikian,
membuat Aisha tak jarang menjadi sasaran untuk disingkirkan. Beragam cara yang
memungkinkan terus dilakukan. Namun Aisha tak pernah mati. Dia tetap tegap
berderap meski mendapat serangan berulangkali.
Aisha memang dilahirkan dalam keadaan lingkungan yang
timpang. Namun dia beruntung dilahirkan oleh Abū Bakr ‘Abdallāh «أبو بكر عبد الله» (Abu Bakr) dan Umm Rumān Zaynab «أمّ رومان زينب» (Umm Ruman), yang membuatnya
tak diperlakukan laiknya barang.
Abu Bakar sendiri adalah sahabat erat Muhammad sejak …
sejauh sanggup keduanya ingat. Persahabatan mereka tak mati meski kemudian
Muhammad tampil sebagai sosok yang dicaci maki. Dalam rangkaian peristiwa al-'Isrā' wa al-Mi'rāj «الإسراء والمعراج» (Isro’ dan Mi’roj) yang diwedarkan, misalnya, Abu Bakar
menampilkan peran penting saat sahabatnya dihujat. Abu Bakar menjadi orang
pertama yang membela Muhammad saat sebagian besar meragukan bahkan cenderung
memendam perasaan antipati.
Dengan keadaan keluarga demikian, Aisha terbilang
beruntung menjalani masa anak-anak—yang singkat. Keluarga Aisha adalah keluarga
yang harmonis, romantis, santun, dan memegang teguh tradisi leluhur. Hal ini
membuat Aisha memiliki mental kuat. Mental kuat yang dimiliki menjadikan Aisha
sebagai sosok pemberani dalam membaur tanpa perlu melacur. Karena tak melacur,
Aisha pun—tanpa perlu mengaitkan dirinya dengan Abu Bakar dan Muhammad—menjelma
sebagai sosok terhormat. Sebagai perempuan, bukan hanya pada masa kekunoan namun juga kekinian, Aisha tak salah disebut sebagai sosok bahadur.
Sebagai sosok bahadur yang kemudian dipersunting
sebagai istri Muhammad, Aisha turut ikutserta berperan. Berperan menjadi mitra Muhammad dalam memberikan
penghiburan sekaligus peringatan. Peran Aisha tak bisa dipandang sebelah mata
lantaran dirinya tampil sebagai juru bicara Muhammad kala sulit menyampaikan pesan-pesan Ilahi-Rabbi.
Dari sisi tersebut terlihat bahwa Aisha terampil dalam
berkomunikasi. Pesan yang disampaikan dari sumber serta sasaran penyampaikan
pesan bisa dimengerti dengan baik. Membuat Aisha memiliki prestasi apik meski
kerap dihardik.
Sayang memang dengan keterampilan berkomunikasi, peran
Aisha justru tak terlampu penting dalam pengumpulan teks Alquran. Dalam hal ini
Aisha tampak masih kalah dibanding Hafṣa «حفصة» (Hafsa). Hafsa memang rajin menulis pesan-pesan Ilahi-Rabbi yang kelak selesai dikumpulkan pada masa ʿUtsmān
«عثمان» (Utsman).
Namun itu tak serta merta membuat Aisha bisa kalah begitu saja.
Pertama,
Aisha dan Hafsa—selain sebagai queen
dan princess buat Muhammad—adalah
sahabat erat. Keduanya kerap bahu membahu dalam berbagai perilaku yang
diperbuat. Mau membantu Muhammad berjuang, berbagi selakangan, atau bahkan ngusilin Ummu Salamah yang lugu, Aisha
dan Hafsa selalu kompak. Dengan persahabatan sejenis demikian, wajar dong kalau Aisha berhasrat Hafsa juga
bisa tampak.
Kedua,
sepanjang perjalanan merentang, Aisha punya seteru abadi bernama ‘Alī «علی» (Ali). Hal ini membuatnya tak punya banyak waktu selo untuk sekadar menulis pesan-pesan Ilahi-Rabbi. Karena itulah Hafsa
diberi kesempatan berperan untuk menuliskan pesan-pesan
Ilahi-Rabbi. Sementara Aisha cukup legowo
menjadi penyambung lidah Muhammad. Tentu sambil menghadapi Ali dalam beradu
kuat.
Dari dua hal tersebut terlihat kalau Aisha juga
terampil dalam pengelolaan (management).
Keterampilan yang membuatnya enggan memakan semua peran sendirian. Keterampilan
Aisha dalam management memuncak
tatkala peristiwa terbunuhnya Utsman menyentak hatinya. Dengan semangat meminta
Ali—pemimpin politik penerus Utsman—Aisha menantang seteru abadi dalam
Pertempuran Unta (The Battle of the
Camel). Disebut Perang Unta karena dalam pertemupuran tersebut Aisha
menunggangi Unta. Disematkan tajuk pertarungannya karena Aisha adalah perempun,
yang memang lebih mempesona.
Semangat Aisha menghadapi Ali dalam The Battle of the Camel terbilang
melipat. Satu sisi dirinya memang memendam kekesalan berkelanjutan pada Ali.
Satu sisi peristiwa terbunuhnya Utsman memang melukai hati ummat. Sayang memang Aisha beserta pasukannya harus rela kalah
dalam pertarungan menghadapi pasukan pimpinan menantu tirinya ini. Tapi tak
mengapa, Aisha tetap layak disebut hebat. Kalah dalam pertarungan bukanlah
pilihan, melainkan takdir Ilahi-Rabbi.
Wabakdu, dengan segala ungkapan yang dialamatkan
padanya maupun menyinggung namanya, Aisha tetaplah Aisha, yang langkahnya sulit
dituturkan semadyana. Karena wanita memang sulit dimengerti sepenuhnya, meski
tetap bisa dinikmati seutuhnya.
References
Aisha Geissinger.
(2011). ‘A’isha bint abi bakr and her contributions to the formation of the
islamic tradition. Religion Compass,
5(1), 37-49. [lihat]
Aisha Geissinger.
(2017). No, a
woman did not “edit the qurʾān”: towards a methodologically coherent approach
to a tradition portraying a woman and written quranic materials. Journal of the American Academy of Religion,
85(2), 416-445. [lihat]
Karen Armstrong. (2002). Islam a short
history, hlm. 33-34. New York
City: The Modern Library.
Mehmet Menteşe dan Mehmet Cem Şahin. (2016). Hazrat
Aisha: In Terms of Religious, Authentic and Didactic Leadership
Characteristics. Women Leaders in Chaotic Environments, 49-59. Springer International
Publishing. [lihat]
Muhammad al-Khudlori Bik. (2007). Tārikh at-tasyrī'
al-islām, hlm. 98. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Ruqayya Yasmine Khan. (2014). Did a woman edit the
qur’ān? hafṣa and her famed “codex”. Journal
of the American Academy of Religion, 82(1), 174-216. [lihat]
Yuhani Liputo. (2007). Muhammad: prophet for our
time (diterjemahkan
dari muhammad: prophet for our time karya karen armstrong), hlm. 130-131;
168-170; 180; 187-188; 201-201; 250-251. Bandung: Penerbit Mizan.