Bergerak Menuju Tak Tentu


— risalah rilah khidmah ‘ilmiyyah
Bergerak Menuju Tak Tentu — risalah riḥlah khidmah ‘ilmiyyah

Madrasah TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah;مدرسة تشويق الطلاب سلفيّة ) Kudus memberikan kesempatan pada saya untuk ber-khidmah (خدمة( sejak tahun pertama pasca lulus dari Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI (Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung.

Secara pribadi saya mulai langkah khidmah pada 8 Juli 2017. Kebetulan tanggal tersebut bertepatan dengan Sabtu Wage dan 13 Syawal, yang merupakan weton dan tanggal kelahiran lunarly saya. Kebetulan juga tanggal tersebut bertepatan dengan debut rilis Extended Play 2NE1, girl group kesayangan saya. Walakin, untuk menyelaraskan diri dengan tradisi madrasah yang biasa memulai kegiatan pada hari Ahad/Rabu, saya sengaja datang ke sana tiga hari sebelumnya, ialah Rabu Legi, 5 Juli 2018.

Waktu itu saya datang ke kantor Tata Usaha MA (Madrasah Aliyah) guna menyerahkan beberapa berkas yang harus dikumpulkan, seperti informasi diri dan kelulusan, kepada Pak Syafi’i Noor selaku Kepala Bagian Tata Usaha MA. Informasi tentang berkas tersebut saya dapatkan dari Pak Musthafa ‘Imron, Kepala MA sejak 1984 selepas Pak Ali Mahmudi mengundurkan diri, dalam kunjungan ke rumahnya pada Hari Ketiga Lebaran tahun tersebut.

Beberapa waktu sebelumnya, ialah pada 6 Mei 2018, saya juga mengunjungi Pak Musthafa untuk membahas kelulusan saya dari UPI.
“Saya alumni 2012, baru lulus kuliah tahun ini melalui PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi mBeling), bagaimana baiknya?” ungkap saya membuka perjumpaan tepat 9 tahun selepas 2NE1 merilis Fire.
“Mana buktinya?” tanya Pak Musthafa meminta tanda kelulusan yang sudah dilegalkan.
Langsung saja saya menyerahkan stopmap warna kuning berisi fotokopi ijazah yang telah dipersiapkan sebelumnya.
 “Ya sudah, nanti dikabari lagi.” tutup pengajar Psikologi Pendidikan di MA sejak 1984 itu.

Sekitar satu bulan kemudian, tepatnya pada 6 Juni 2018, saya menerima pesan pendek dari Pak Nur Chamim, Wakil Kepala Bagian Kurikulum.
“Besok ke madrasah ya, ada yang perlu dibicarakan,” tulis Pak Chamim melalui pesan pendek yang saya terima selepas Sholat Tarowih.
“Iya Pak,” tanggap singkat saya.

Dalam perjumpaan esok hari di kantornya, Pak Chamim langsung menceritakan bahwa saya diterima untuk ber-khidmah di Madrasah TBS sebagai anggota Tata Usaha. Selain itu Pak Chamim juga menyampaikan pesan dari Pak Musthafa untuk menawari saya agar sekalian menjadi anggota Pembina (مُشْرِفٌ) di Pondok Pesantren Ath-Thullab (معهد الطلاب). Waktu itu pesantren yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh madrasah ini baru saja ditinggalkan oleh Pak Khoirul Umam, yang undur diri selepas beberapa tahun menjadi pembina. Setelah melalui perbincangan dengan orangtua, tawaran tersebut saya terima.

Informasi bahwa saya diterima untuk ber-khidmah di Madrasah TBS kemudian saya sampaikan pada Pak Muhammad Arifin Fanani, guru saya sejak nyantri mukim sekaligus pengasuh Pondok Pesantren MUS-YQ (Ma’hadul ‘Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an, lil banin; Arab: معهد العلوم الشرعية ينبوع القرأن للبنين) Kudus. Selain menjadi pengasuh pesantren tersebut sejak 25 Desember 1990, Pak Arifin juga mengajar di MA sejak 1989. Informasi tersebut saya sampaikan guna meminta restu darinya, laiknya hubungan antara guru dan murid yang senantiasa lestari sepanjang hayat.

Pak Arifin sontak kaget ketika menerima informasi tersebut. Selain baru mendengar dari saya pada 19 Juni 2018, waktu itu juga belum dilaksanakan rapat pengurus yayasan yang antara lain membahas tentang squad baru. Kekagetan tersebut saya tanggapi dengan menuturkan bahwa khidmah ini ialah sebagai bagian dari kesepakatan antara pemberi dan penerima PBSB. Pak Arifin yang dengan cepat menangkap tuturan saya langsung memberi restu sekaligus pesan agar terus tetap merawat ketekunan.

Baru setelah itu saya kembali mengunjungi Pak Musthafa untuk kali kedua, pada Hari Lebaran Ketiga yang bertepatan dengan 28 Juni 2018. Selain menginformasikan tentang beberapa berkas yang harus dikumpulkan, dalam kunjungan tersebut Pak Musthafa juga bercerita yang arahnya barangkali ingin memberi tambahan semangat. Dari sinilah saya dapat memahami kalau Pak Arifin sempat kaget, pasalnya rapat pengurus yayasan belum dilaksanakan. Berkas yang harus saya kumpulkan sendiri dimaksudkan untuk menjadi bagian dari pembahasan.

***

Debut saya sebagai bagian dari squad team Madrasah TBS secara resmi dimulai pada 15 Juli 2017. Bersama beberapa punggawa baru, saya diperkenalkan kepada pengurus harian yayasan beserta kepala madrasah setiap tingkatan. Pak Musthafa yang menjadi pembawa acara dalam konferensi meja persegi pagi itu sekaligus mengenalkan bahwa saya juga ditugaskan sebagai pembina Pondok Pesantren Ath-Thullab. Acara perkenalan berlanjut dengan pertemuan seluruh squad team Madrasah TBS yang berlangsung sampai siang sebelum adzan Dhuhur berkumandang.

Selepas acara, Pak Abdul Kholiq selaku pembina utama Pondok Pesantren Ath-Thullab menyapa saya. Pak Kholiq langsung menembakkan pertanyaan, yang kayaknya lebih tepat dianggap sebagai ajakan, untuk segera ke pesantren. Pak Kholiq sudah banyak menerima informasi dasar mengenai diri saya dari Pak Musthafa.

Kepada Pak Kholiq, saya bilang hendak mulai secara resmi ke pesantren pada Ahad keesokan hari. Namun, dirinya menyarankan saya hadir pada acara perkenalan santri baru sore hari itu. Lagipula alasan prinsip bisa diakali dengan niat main ke pesantren pada Sabtu itu. Langsung saja saya mengikuti saran dari Pak Kholiq, menuju pesantren selepas Dhuhur, tidur siang di sana sampai dibangunkan ketika adzan Ashar. Acara perkenalan santri baru dimulai. Pak Musthafa juga hadir dalam acara ini, pun Pak Umam.

Saya hanya ikut saja, dengan gelombang rasa dan sikap yang tampak datar saja, sampai akhirnya Pak Musthafa bilang, “Besok kamu tak usah berangkat ke MA,” tuturnya yang langsung memberi daya kejut, “berangkat ke MI saja, di sana kamu dibutuhkan, mengajar Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, lalu apa lagi saya lupa, sekalian wali kelas.” lanjutnya segera sebelum pertanyaan saya selesai menyusun pertanyaan dalam hati untuk diungkapkan melalui lisan.

Dahi berkerut, mata sejenak terbelalak, tetapi saya masih bisa mengendalikan suasana hati dan ucapan lisan, “Maksudnya bagaimana pak?” tanya saja segera. “Begini, (Pak) Salim (kepala MI) tadi menghubungiku, dia meminta kamu untuk mengajar saja di MI. Untuk lebih lanjut, kamu ke sana saja. Selama dua tahun ini, mungkin kamu di MI, setelahnya lihat nanti.” jelas Pak Mus.

Terus terang saya bingung menentukan perasaan saat itu: antara senang, sedih, kaget, atau woles. Saya merasa sudah nyaman di MA, walau baru menjadi anggota Tata Usaha belum mengajar di ruang kelas. Saya juga merasa bahagia mendapat kesempatan mengajar di kelas, hanya saja belum kenal suasana MI. Tanpa menolak, saya terima saja perubahan penugasan tersebut.

***

Malam harinya saya pulang ke rumah, mengabarkan beberapa informasi kepada orangtua dan kedua adik serta menyiapkan perlengkapan untuk pindah tempat bermukim, seperti pakaian dan seluruh file M4A & M4V dari 2NE1. Tak ketinggalan pula ‘prolog’ 2NE1, yakni DEWA19, Britney Spears, DEWA, dan Linkin Park serta ‘epilog’ 2NE1, yaitu Queen dan Madonna. Keesokan harinya saya segera menuju Pondok Pesantren Ath-Thullab yang dilanjutkan ke kantor Kepala MI.

Di kantor saya berjumpa dengan Pak Salim, yang waktu itu masih riweuh.
“Sudah diberi kabar Pak Musthafa ‘kan?” tanya Pak Salim membuka percakapan.
“Sudah Pak, lalu tugas saya hari ini ngapain?” tanggap saja balas tanya pada Pak Salim.
“Di sini kamu mendapat tugas mengajar A’dad, Mahfuzot, Lughot, Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris sekaligus Wali Kelas 2B,” tanggapnya yang memberi daya kejut pada saya.
“Kok banyak? Pelajaran lokal pula.” tutur saya sembari mengerutkan dahi.
“Nanti ada perubahan,” tutur Pak Salim menenangkan, meski dirinya sedang tidak tenang. Hihhh, kZl.

Saya sendiri tak masalah mengajar mata pelajaran apapun. Masalahnya ialah pelajaran A’dad, Mahfudzot, dan Lughot termasuk pelajaran yang cenderung diarahkan pada rumpun ilmu syar’i. Sedangkan saya merasa tak pantas mengampunya, karena masih terdapat banyak orang di MI yang lebih tepat.

Selama lima hari sejak 16-20 Juli, kegiatan pembelajaran dimulai dengan pengarahan oleh Wali Kelas. Sehingga saya pun baru masuk di satu kelas, 2B tepatnya, mengenalkan diri sekaligus mengenali lingkungan. Muridnya luar biasa beragam, dari Chelsea sampai Real Madrid, mulai Tobot sampai Naruto. Ketika saya mengisi kegiatan dengan pelajaran Bahasa Inggris dan Jawa, secara bergantian, tampak bahwa mereka memiliki perbedaan kecerdasan yang juga beragam. Tentu saya bisa salah, karena anggapan ini menyembul dari intuisi saja, bukan berdasarkan analisis menggunakan indikator terukur-teramati.

Baru pada pekan kedua saya mulai masuk kelas lain, mengampu pelajaran yang banyak itu. Cukup satu pekan saja lantaran dalam rapat pemantapan pada 30 Juli 2018, saya menerima perubahan tugas. Kali ini pelajaran yang saya ampu berkurang, hanya Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa, sekaligus Wali Kelas 2B di MI. Namun, saya menerima tugas lain untuk tingkat MPTs, dengan memilih antara Bahasa Inggris, Matematika, atau keduanya. Atas dasar keisengan spontan, saya pilih Matematika saja. Padahal semua teman saya tahu, I’m the one who say Math is the fuck one.

Tugas di MPTs memberi tantangan secara langsung pada saya selaku lulusan UPI. Kemampuan merancang kurikulum kemudian menerapkan dalam pembelajaran merupakan tantangan yang paling saya suka. Apalagi MPTs menerapkan KTSP, kependekan dari Kurikulum Terserah Setiap Pengajar. Tentu kata ‘terserah’ ini bukan mengarah pada ‘seadanya’, walakin ‘semadyana’ sesuai dengan keadaan murid.

Maya Modigliani Azra, teman dekat sesama PBSB dari Pendidikan Matematika, menjadi peer dalam menyusun kurikulum. Maya banyak berperan dalam menyampaikan syarat yang diperlukan pada setiap bagian pembahasan Matematika.

Misalnya ketika saya ingin memasukkan pembahasan tentang Operasi Aljabar. Maya membantu saya meletakkan Aljabar dalam urutan pembelajaran. Caranya dengan menyampaikan kalau bagian ini perlu pra-syarat berupa Operasi Aritmetika. Padahal kalau di Kurikulum SMP/MTs, bagian Aljabar dibahas setelah Himpunan. Dari Maya saya baru mengerti kalau Himpunan diperlukan kalau ingin masuk ke Fungsi dan Persamaan. Sementara saya tak akan melangkah sejauh itu.

Maya juga mengonfirmasi kalau pembahasan Pola Bilangan dapat dilakukan setelah Operasi Aritmetika. Meskipun di Kurikulum SMP/MTs pembahasan Pola Bilangan baru dibahas tersendiri di kelas IX—alias setelah murid dikenalkan denhan Aljabar di kelas VII. Saran paling bagus, menurut saya, dari Maya ialah bahwa saya harus menyelesaikan Operasi Aritmetika secara mutlak. Atau dengan ungkapan lain, kalau murid dianggap belum menguasai Operasi Aritmetika, tak perlu ngoyo dan mekso masuk Aljabar.

Mulanya saran paling bagus itu saya anggap biasa saja. Belakangan saya merasa Maya punya dasar yang kuat dalam memberi saran. Soalnya ketika Operasi Aritmetika untuk Bilangan Pecahan dan Bilangan Negatif, muncul masalah serius. Murid banyak mengalami kebingungan di sini. Untuk kasus Bilangan Pecahan, kebingunan banyak terletak dalam masalah Pembagian. Sementara untuk kasus Bilangan Negatif, masalah utama terletak pada kesulitan melakukan Pengurangan. Alhasil, saran sederhana—bukan sepele—tersebut membuka saran lain.

Faliqul Jannah Firdausi, misalnya, yang memberi saran untuk menguatkan Operasi Aritmetika dalam Bilangan Pecahan. Faliqul, rekan sesama PBSB dari Pendidikan Matematika, menyebut bahwa banyak murid SMA/MA yang masih kesulitan dengan hal ini. Saran dari Faliqul saya terima dengan cara memperbanyak latihan soal Pecahan. Agar lebih menarik, contoh soal diambilkan dari pelajaran Fara’idh (Arab: علم الفرائض), yang memiliki pecahan dasar berupa 1/2, 1/3, 2/3, 1/4, 1/6, dan 1/8.

Tak sulit buat saya untuk menyusun soal Operasi Aritmetika dalam Bilangan Pecahan. Pasalnya Madrasah TBS punya buku Fara’idh berjudul Risalah Chadziqiyyah (Arab: رسالة حاذقية) karya K.H. Ahmad Rofiq Chadziq, yang notabene Kepala MPTs ketika pertama didirikan. Pun saya memiliki garis keilmuan Fara’idh melalui Pak Muslim, yang mengajar ketika belajar di MTs Miftahul Falah.

Selaras dengan Faliqul, Pak Budi Utomo pun memberi saran untuk menguatkan Operasi Aritmetika dalam Bilangan Negatif. Pak Budi, guru Matematika saya ketika MA, mengungkapkan bahwa murid tingkat SMA/MA pun banyak yang gagap dalam Bilangan Negatif.

Kali ini tanggapan saya lebih asyik, karena dapat membawa masalah industri sepak bola ke dalam pelajaran Matematika. Masalah yang dibawa ialah neraca keuangan Chelsea, klub kesayangan saya, yang sering lebih besar pasak ketimbang tiang. Prihatin. Juga beberapa cuplikan kasus dalam pelajaran IPA, seperti perbedaan temperatur udara antar dua keadaan—baik bergantung ruang, waktu, atau keduanya.

Tentu saya tak melupakan bagian lain dalam Matematika, ialah Geometri. Dalam linikala Matematika pun umur Geometri sebagai cabang tersendiri cukup tua. Secara khusus, pembahasan Geometri saya lakukan dengan Muhammad Taqiyuddin, rekan saya yang sama dengan Maya dan Faliqul. Taqi banyak berperan untuk mengoreksi pemahaman saya tentang konsep dalam Geometri, seperti titik, garis, bidang, dan ruang.

Hanya empat itulah yang ingin saya sampaikan secara tersendiri kepada murid. Empat itu saja sudah memberanakkan konsep lain seperti panjang, sudut, keliling, luas, dan isi. Selebihnya, muatan Geometri menjadi bagian dari soal latihan. Malahan saya sempat banyak salah dalam mengerti konsep tersebut, sampai Taqi merasa perlu untuk menghajar saya secara langsung dengan berkunjung ke Pondok Pesantren Ath-Thullab. Kelakuaaan.

Masalah yang diberikan Geometri pada saya tak selesai di situ. Urutan penyampaian dalam pembelajaran pun memberikan masalah. Masalahnya ialah dari mana saya memulainya? Apakah dari gagasan bahwa kemunculkan Geometri ialah untuk mengukur Bumi

Kalau gagasan ini yang dipakai, artinya saya mulai dari pengamatan terhadap objek konkret untuk digambarkan secara sederhana guna memudahkan pengukuran. Atau saya kudu mulai dari titik sebagai konsep paling sederhana dalam Geometri? Kalau gagasan ini yang dipakai, berarti saya mulai dari penalaran bahwa titik merupakan pijakan utama dalam menggambar objek konkret secara sederhana. Sampai sekarang saya belum dapat menyimpulkan mana yang terbaik di antara keduanya.

Pembahasan seperti itu yang dulu sempat memperpanjang Ujian Sidang saya pada 24 Februari 2017 dari 1 jam seharusnya menjadi 2 jam jadinya. Gara-gara ‘hakim’ dan ‘tersangka’ sibuk membahas tentang alur penyampaian materi Gerak Lurus Beraturan dan Gerak Lurus Berubah Beraturan. Kasihan Dini Fitriani, jadi ngantuk dia menanti saya selesai.

Tak sekadar masalah, Geometri juga memberikan mashlaḥah. Maslahah sumbangan Geometri ialah menyadarkan saya kalau skeptism sudah diperkenalkan oleh Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghōzali melalui bukunya al-Munqidh min adh-Dholāl (Arab: المنقذ من الضلال). Malah kalau diruntut dalam linikala perkembangan pemikiran, perkenalan tersebut jauh mendahului ungkapan René du Perron Descartes dalam bukunya Le Discours de la Méthode.

Dari perunutan terhadap al-Ghōzali ke Descartes saya mendapat mashlaḥah lain, berupa runutan konsep Mekanika dari Aristoteles sampai Galileo Galilei.[1] Ternyata banyak orang berperan dalam meruntuhkan gagasan Aristoteles di Mekanika. Malahan sempat memunculkan konsep Impetus, yang seakan menjadi adhoc peruntuhan gagasan Mekanika ala Aristoteles laiknya Ether yang menjadi adhoc tersingkapnya kekurangan Mekanika ala Isaac Newton.

Tentunya saya tak melupakan MI begitu saja. Bedanya kalau MPTs memberikan tantangan utama berupa penyusunan kurikulum, di MI tantangan utama terletak pada pelaksanaan kurikulum dalam pembelajaran. Apalagi di MI saya mendapat tugas di kelas 1 & 2 untuk Bahasa Inggris, dan 1 sampai 3 untuk Bahasa Jawa. Kurikulum sendiri sudah tersusun rapi dan rinci, karena memang tingkat MI di-reken oleh negara, baik melalui Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Entah mengapa saya merasa tidak sreg dengan tata kelola lembaga pendidikan di Indonesia, yang harus dibagi antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan. Malahan belakangan lembaga pendidikan tingkat tinggi dikelola tersendiri melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Mengapa semua lembaga pendidikan tidak diserahkan pada Kementerian Pendidikan saja sebagai pengelola utama? Kementerian lain, kalau memang ingin, boleh saja ikutserta mengelola. Namun, fungsinya sebagai pengelola tambahan, atau pendamping, atau apalah namanya.

Hanya saja, sampai saat ini saya hanya bisa melaksanakan kebijakan tersebut, belum bisa untuk mengubah kebijakan yang sudah berlaku sejak lama. Pelaksanaan kebijakan tersebut antara lain dengan melakukan pembelajaran di kelas. Seperti di MPTs, di MI sendiri saya berusaha untuk menyertakan rekan saya sesama PBSB untuk ikutserta membantu.

Dalam Bahasa Inggris misalnya, Arij Zulfi M. (Mufassaroh) banyak saya minta sarannya. Ais merupakan rekan PBSB dari Pendidikan Bahasa Inggris yang, menurut pandangan subjektif saya, cocok untuk mengajar tingkat dasar. Kemampuannya matang dan tipikal penyayang. Ais juga bagus dalam membuat konten visual yang biasanya lebih menarik daripada verbal, kalau dipakai di tingkat dasar.

Sedangkan untuk Bahasa Jawa, Surotul Ilmiyah menjadi sosok utama yang saya ajak ikutserta. Ilmy memang tak memiliki latar keilmuan Bahasa Jawa, dirinya kuliah di Kesehatan Masyarakat dari S1 sampai S2, pun kegiatannya sekarang menjadi Tenaga Ahli Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Namun, Ilmy dapat membantu saya melalui bukunya Seni Pertunjukan Wayang. Saya sendiri merupakan pengagum berat Ilmy—makanya catatan ini dijuduli dengan kata ‘limiyah’.

Di madrasah, kisah pewayangan mulai saya sampaikan di kelas 2, dengan menghadirkan empat Punawakan, ialah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sedangkan di kelas 3, kisah pewayanan fokus pada Pandhawa Lima, ialah Bima, Judhistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bagian lain dalam Seni Pertunjukan Wayang yang berguna buat membantu saya mengajar ialah pembahasan tentang gamelan.

***
Bergerak Menuju Tak Tentu — risalah riḥlah khidmah ‘ilmiyyah

Saya memang tampak ngoyo dan mekso mengajak rekan PBSB dalam urusan khidmah saya, yang boleh dibilang urusan pribadi. Hal ini karena saya ingin agar sesama penerima PBSB dapat menjalin interaksi berkelanjutan terutama dalam urusan keilmuan. Rasanya sayang kalau program yang menelan banyak anggaran negara ini hanya sebatas kuliah kemudian khidmah.

Tak ada yang salah memang dari kuliah kemudian khidmah. Masalahnya ialah dalam pelaksanaan, kedua hal ini tampak memberi manfaat secara individual, atau paling mentok secara lokal. Belum sampai dapat memberi manfaat secara nasional, alih-alih global kayak K-Pop dan Drama Korea.

Ke-ngoyo dan mekso-an saya tak sebatas sampai situ saja. Ketika tugas saya dipindah ke MA untuk mengajar Biologi di kelas X, saya pun masih menunjukkan sikap tersebut. Apalagi selain Biologi, terdapat pelajaran Biologi Peminatan di kelas X. Kebetulan dua pelajaran ini diampu oleh 2 orang berbeda: saya untuk Biologi dan Muhammad Fahmil Huda untuk Biologi Peminatan.

Huda serupa dengan saya, penerima PBSB yang kuliahnya terkait Fisika. Dirinya sendiri kuliah Fisika di ITS (Institut Teknologi Sebelas November) Surabaya. Selain sama-sama mengajar Biologi di kelas X, kami juga sama-sama menjadi anggota TU MA sekaligus Pembina Pondok Pesantren Ath-Thullab.

Di Pondok Pesantren Ath-Thullab, tugas yang diberikan saya masih abstrak berupa membantu santri agar dapat mendalami kitab kuning, fasih membaca al-Qur’an, menguasai pelajaran madrasah, serta mengembangkan bakat dan/atau impian. Dalam bentuk konkret, tugas tersebut dilaksanakan dengan menjadi Pembimbing Karya Tulis, Public Speaking, Praktikum Ibadah; Sorogan Kitab Kuning, serta Guru Musyafahah dan Mudarosah al-Qur’an.

Tugas sebagai Guru Musyafahah dan Mudarosah al-Qur’an sempat memunculkan dilema dalam benak saya. Pasalnya saya bukanlah Ḥāmil al-Qur’ān (sebutan yang tepat untuk orang yang hafal al-Qur’an). Namun, jawaban dari K.H. Muchammad Achmad Ulil Albab Arwani selaku Qōri’ (sebutan untuk orang yang menguasai tujuh macam bacaan al-Qur’an) bahwa saya boleh menjadi Guru al-Qur’an, cukup melegakan. Meskipun, terus terang, masih terdapat keinginan untuk kembali mengaji bi an-nadzhor agar memperoleh lisensi secara resmi, seperti mendapat sanad bacaan yang sinambung sampai Muhammad.

Sorogan menjadi tugas paling saya suka, karena bersifat individual. Dalam pelaksanaannya memang dibagi berkelompok, namun ketika santri membaca kitab kuning secara tatap muka kepada pembimbing, sifatnya individual. Pun dalam kegiatan ini membuka ruang diskusi antara saya dan santri. Tak ada yang lebih pintar dalam kegiatan ini, boleh jadi santri lebih menguasai materi ketimbang saya. Jadi kesukaan kedua saya dalam kegiatan ini ialah membuka kesempatan untuk belajar kepada santri.

Dalam bimbingan Karya Tulis dan Public Speaking, secara pribadi harapan saya sederhana: agar santri dapat mengungkapkan pemikiran secara lisan dan tulisan. Tentu dalam pemikiran tak hanya sebatas penalaran, melainkan juga menyertakan keyakinan dan perasaan. Karena itulah tak jarang pemikiran seseorang dapat berubah, baik perubahan yang melawan atau melengkapi pemikiran sebelumnya maupun perubahan yang membuka pemikiran baru darinya. Mengakui perubahan inilah letak utama dalam mengungkapkan pemikiran secara lisan dan tulisan. Jadi saya tak hanya berharap agar mereka dapat menulis dan bicara saja, melainkan tak ragu untuk mengakui atau menunjukkan perubahan yang dialami.

Saya terbantu dengan pengalaman aktif di komunitas PBSB sebagai tim BSO (Badan Semi Otonom) SANTRI. Sejauh ini SANTRI masih menjadi satu-satunya BSO yang terdapat dalam hierarki kepengurusan CSSMoRA (Community of Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs) tingkat Nasional. Tak perlu risau dengan penamaan yang menggunakan Bahasa Inggris. Tak sedikit lembaga yang namanya tidak menggunakan Bahasa Indonesia, namun arah perjuangannya justru bermanfaat terhadap masyarakat Indonesia. Misalnya NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, atau CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Lagipula Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang pembentukannya lebih dekat dengan alasan politis ketimbang kultural.

Keaktifan saya di BSO Santri sudah berlangsung sejak tahun pertama kuliah sebagai penerima PBSB. Mulai menjadi Editor di bawah arahan Surotul Ilmiyah selaku Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi (2013-4), Pelaksana Tugas Pemimpin Umum ketika Ilmy sibuk dengan kegiatan lain (2014-5), sampai dipilih menjadi Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi (2015-6) yang berakhir dengan undur diri bersamaan dengan peringatan milad-nya Annisa Fitriani.

Pada saat menjadi Pemimpin Umum, saya sempat menyembulkan gagasan agar CSSMoRA membentuk lembaga mandiri untuk alumini PBSB bernama Santri Scholars Society. Saya tak menolak keberadaan LP2A PBSB (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi), yang dibentuk sebagai forum alumni. Hanya saja rasanya LP2A PBSB kurang terasa kehadirannya, kalau enggan dianggap berhenti kegiatannya. Sayang gagasan tersebut hanya mewujud dalam angan, belum bisa terbentuk melalui pelaksanaan.

Pengalaman lain yang membantu saya dalam bimbingan Karya Tulis dan Public Speakin ialah kegiatan SiNaFi. Kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI ini mulai saya ikuti pada tahun 2016. Menjadi Pemakalah Oral ialah kesempatan yang paling saya suka, karena saya harus menjelaskan secara lisan tentang tulisan yang disusun dalam format akademik. Kalau SANTRI memberi pengalaman secara populer, SiNaFi melengkapinya dengan pengalaman secara akademik. Richard Phillips Feynman adalah role model saya yang bermain pada dua wilayah tersebut.

Tugas lainnya di pesantren ialah Menjadi Penanggung Jawab bagian Keamaan dan Kebersihan serta melakukan Bimbingan dan Konseling secara individual kepada beberapa santri. Pembagian santri dalam Bimbingan dan Konseling ini dilakukan dengan cara mengadopsi bentuk Perwalian Akademik di Perguruan Tinggi, bukan seperti bentuk pembagian guru BK di madrasah. Pasalnya pembagian bersifat tetap sampai para santri lulus atau boyong ke tempat lain, bukan berubah-ubah setiap mereka naik kelas.

Kebersihan nyaris menjadi pembahasan yang tak jauh dari pesantren. Sayangnya pembahasan cenderung menjelekkan kesan pesantren sebagai lembaga yang tak merawat kebersihan. Padahal secara normatif, santri sudah akrab dengan ungkapan, “Kebersihan itu Sebagian dari Iman”. Sayang secara aplikatif memang sulit diwujudkan. Perlu keuletan untuk dapat membiasakan santri aktif menciptakan, tak sebatas menjaga, kebersihan lingkungan. Hal ini selain menjadi bentuk pengamalan terhadap pelajaran syar’i seperti Fiqh, juga merupakan bentuk penerapan pengetahuan yang didapat dari pelajaran non-syar’i semisal Biologi.

Cerita yang saya tuliskan ini tentulah belumlah semuanya. Apalagi di tengah kesibukan sekarang, tentu semakin sulit bagi saya meluangkan waktu untuk menulis. Harus ada banyak penyiasatan atas waktu. Dulu, apabila saya bosan atas sesuatu, biasanya saya pergi ke tiga tempat, yakni toko buku, jalan, dan atap rumah. Dengan mengunjungi toko buku, saya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Kalau ke jalan, saya merasa sebagai orang paling malas di dunia. Di atap rumah, saya merasa menjadi orang paling kecil di tepian galaksi. Biasanya, saya kembali segar, lantas berusaha untuk tidak malas. Kalau tidak dapat beranjak dari home, ya menyimak lagu-lagu 2NE1, yang menyuntikkan gairah tak biasa buat saya.

Seringkali orang menuduh saya orang pintar, kritis, dan rajin. Padahal, banyak orang yang saya kagumi. Rasa kagum biasanya muncul ketika diri sendiri merasa lebih lemah ketimbang orang lain. Saya sendiri merasa bahwa kepintaran, kekritisan, dan kerajinan, bukanlah sesuatu yang penting. Yang paling penting barangkali empati atau keinginan menyelaraskan perasaan sendiri dengan orang lain. Dari sini dapat menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan, bahkan membuahkan sisi humanis. Kalau sisi humanis hilang dalam diri saya, barangkali saya tidaklah akan bisa untuk makan enak dan tidur nyenyak.

Tambahan
[1] Berikut ini urutan garis keilmuan saya dengan Galileo Galilei, melalui Setiya Utari(Tanda ‘’menunjukkan arti ‘murid dari’:
Adib Rifqi Setiawan (Universitas Pendidikan Indonesia) Setiya Utari (Universitas Pendidikan Indonesia) Sutrisno Sutrisno (Universitas Pendidikan Indonesia) Pantur Silaban (Institut Teknologi Bandung) Peter Gabriel Bergmann (Syracuse University ) Albert Einstein (Kaiser Wilhelm-Institut für Physik) Alfred Kleiner (Universität Zürich) Johann Jakob Müller (ETH Zürich) Adolf Eugen Fick (Julius-Maximilians-Universität Würzburg) Carl Friedrich Wilhelm Ludwig (Universität Leipzig) Ernst Marxow (University of Vienna) Ernst Wilhelm von Brücke (University of Vienna) Enrico Sertoli (Universita di Pavia) Eusebio Oehl (Universita di Pavia) Bartolomeo Panizza (Universita di Pavia) Antonio Scarpa (University of Modena) Giovanbattista Morgagni (University of Padova) Antonio Valsalva (Università di Bologna) Marcello Malpighi (Università di Bologna) Giovanni Alfonso Borelli (Messina) Benedetto Castelli (University of Rome) Galileo Galilei (University of Padua)
(Garis ini disusun berdasarkan nama yang tertulis pada papaer akademik, seperti Skripsi, Tesis dan Disertasi)
Bergerak Menuju Tak Tentu — risalah riḥlah khidmah ‘ilmiyyah


K.Sl.Pa.181139.310718.09:06.
K.Sl.Pa.290140.091018.16:09.