— petrified keys to the kingdom
Michael Kenji Shinoda [マイケル・ケンジ・シノダ] sudah menggilai musik, terutama
musik rock dan hip-hop, sejak belia. Kegilaannya mewujud dengan kebiasan menyimak
unjuk rasa karya Boogie Down Productions, Public Enemy, Juice Crew, serta N.W.A.
Karya Nine Inch Nails, Deftones, The Roots, dan Aphex Twin pun tak ketinggalan
dilahapknya.
Kegilaan pada musik diperkaya dengan
karya dari brand lain, mulai dari Led
Zeppelin, Run DMC, The Beatles, Rage Against The Machine, Purity Ring, Arctic
Monkeys, hingga Santigold. Selain itu juga diperkuat oleh dukungan sang ibu,
Donna, sosok terdekat Mike. Sang ibu memberi dukungan psikis dengan terus
mendorong putranya untuk menekuni musik.
Saat usianya baru enam tahun, sang
ibupun memberikan dukungan teknis pada putranya ini dengan mengikutkannya pada
program belajar piano. Merasa sudah bisa menguasai piano, Mike melangkah ke
ranah berikutnya dengan ikutserta mengasah kemampuannya untuk bermain jazz, blues, dan hip-hop. Ketekunan dilanjutkan dengan memperkaya dan mewarnai
dirinya melalui belajar gitar dan vokal bergaya rap.
Kemampuan tersebut menunjangnya
dalam mewjudkan impian membentuk grup band dengan Brad Delson dan Rob Bourdon.
Melalui serentetan perjuangan mengharukan dalam ikatan persahabatan cinta yang
tulus, impian tersebut akhirnya terwujud dalam rentang waktu setengah windu. Mike
berhasil bersama grup yang mulanya bernama Xero itu menggelinjang dengan nama
Linkin Park.
Bersama Linkin Park, Mike berhasil
melampiaskan sebagian hasratnya tanpa pernah merisak liyan alih-alih membikin tenggelam. Dibanding punggawa lainnya,
Mike adalah paling serbaguna. Mike bisa melakoni perannya sebagai keboardist dengan bagus. Peran ini diperkaya
dengan kelihaiannya memadu permainan guitar
bersama Delson dan kepiawainnya urun suara dengan Chester.
Dua peran tambahan tak membikin dua
nama tersebut merasa dikalahkan. Belum lagi berpadu dengan Hahn, maupun urun
tangan merampungkan sederet pekerjaan. Keberhasilan bersama Linkin Park sedari
dini dimulai hingga sanggup menghentak ke tengah khalayak membikin label
rekaman yang menaungi, Warner Music Group, memberi kesempatan pada Mike untuk
mengelola label sendiri di bawah naungan mereka. Kesempatan istimewa tersebut tak
disia-siakan oleh manusia yang selalu serius dan santai ini.
Tanpa diduga oleh Warner Music
Group, Mike dan Delson nyatanya sudah memiliki blueprint pembentukan label rekaman. Obrolan mereka di rumah Mike
menghasilkan sebuah rancangan label rekaman yang dinamai The Shinoda Imprint. The
Shinoda Imprint dibentuk pada masa-masa mereka mengemas CD album mini Hybrid Theory untuk dibagikan secara
gratis pada assabiquna al-awwaluna Underground.
Dua tahun kemudian, pada 2001, The
Shinoda Imprint pun berganti nama menjadi Machine Shop Records. Mike
mengajakserta sahabat intimnya, Delson, untuk membangun label ini. Sembari
terus berkarya bersama menerbangkan Linkin Park, mereka pun berkomitmen
membangun Machine Shop Records. Mike dan Delson memulai impian ini dengan
ungkapan bersama sebagai sapaan pada-Nya, “We
are a think tank and a creative studio.”
Sayang, pihak Warner belum
memberikan ijin pada Mike untuk mengelola seluruh album Linkin Park melalui
label yang dikelola olehnya dan sahabatnya yang notabene sesama punggawa Linkin
Park ini. Mike pun belakangan menyadari bahwa mengelola sebuah album adalah hal
yang sulit. Meski demikian, beberapa album Linkin Park sebagai persembahan
untuk para penggemar dirilis melalui Machine Shop Records.
Tak mau terpaku pada satu grup saja,
Mike berupaya mengasah kemampuan lainnya melalui Machine Shop Records. Label
tersebut menaungi musikus yang ingin mentas di industri hiburan, terutama yang
membawa warna rock atau hip hop. Beberapa nama yang cukup
terkenal dimunculkan dari sini, antara lain Holly Brook (kini dikenal sebagai
Skylar Grey), Styles of Beyond, No Warning, serta Fort Minor.
Fort Minor merupakan grup yang
dibentuk olehnya atas kecintaannya pada Linkin Park dan hasrat kuatnya pada hip-hop. Mike tak mau Linkin Park yang
sudah lekat dengan rock tiba-tiba
melakukan perubahan radikal dengan mengutamakan hip hop. Linkin Park memang diwarnai olehnya dengan hip-hop. Namun dia belum puas saat
hasrat berkarya dengan warna hip-hop
belum bisa dilampiaskan secara lepas.
Karena sayang dengan grup yang
dibentuk dengan nama Xero itu, Mike pun tak hendak mencederai warna grupnya
dengan menyempatkan menghasilkan karya yang memuaskan hasratnya, hip-hop sepenuhnya. Sebagai jalannya,
Mike memilih membentuk grup baru, dengan warna baru, yang saling berpadu tanpa
harus beradu dengan mengajak tiga punggawa Styles of Beyond ikut serta: Ryan
Patrick Maginn (Ryu) dan Takbir Bashir (Tak).
Beruntung juga saat itu Linkin Park
sedang masuk masa-masa jenuh setelah Meteora
berhasil memuncak. Nama grup yang dibentuk pada 2004 ini diberikan sendiri oleh
Mike. ‘Fort’ dimaknainya sebagai sisi
agresif dalam musik sementara ‘Minor’
dimaksudkan sebagai sisi gelapnya. Mike memilih nama yang jauh dari
personalitasnya lantaran dia ingin khalayak menerima karyanya karena kualitas
karya, bukan karya dirinya sendiri yang sudah ‘menjual’ saat itu.
Fort Minor tak terlampau lama
menggelinjang. Malah terkesan sebagai cara Mike mengisi waktu luang. Fort Minor
banyak unjuk penampilan saat jeda perilisan Meteora
dan Minutes to Midnight dari Linkin
Park. Hanya saja semenjak 2015, saat hip
hop mulai menguasai industri musik seiring keberhasilan Skrillex mengusung electronic dance music, Mike
menghidupkan lagi grup keduanya ini. Dia menyapa khalayak melalui lagu tunggal,
Welcome.
Naluri seni Mike tak hanya
diwujudkan melalui seni musik saja. Naluri seni rupa yang juga ditekuninya.
Malah seni rupa ditunjang dengan pengalaman di perguruan tinggi. Pengalaman
yang sempat berkelindan saat Mike harus berjuang lulus dari perguruan tinggi
sekaligus merampungkan demo untuk band pertamanya.
Melalui kepiawaiannya menggubah
karya seni rupa, Mike berhasil menahbiskan namanya sebagai seniman terpandang. Sebagian
karyanya bahkan sudah terpampang di Japanese American National Musem (全米日系人博物館). Satu wujud apresiasi yang membuat
karyanya tetap abadi.
Japanese American National Museum
merupakan sebuah musem yang dibangun untuk mewadahi dan melestarikan warisan
sejarah dan budaya warga USA keturunan Jepang. Musem ini berlokasi di Little
Tokyo, tak jauh dari pusat kota Los Angeles, California. Mike sendiri merupakan
generasi ketiga dari warga yang disebut Japanese
American ini. Muto, ayahnya, merupakan keturunan pendatang yang berhasil
berwiraswasta di California.
Sementara melalui seni musik dia
berhasil menapaki industri hiburan, melalui seni rupa dia berhasil mendapat
beberapa semat, antara lain: Japanese
American National Museum's Award of Excellence (2006), Doctorate of Humane Letters (L.H.D.) dari Art Center College of
Design (2009), dan Visionary Award
(2010) dari East West Players. East West Players adalah sebuah organisasi yang
dibangun sebagai wadah warga USA berdarah Asia.
Melalui artikel berjudul Music for Relief: ‘Let’s power the world’
yang terbit di The Big Issue pada 10
September 2012, Mike memberikan pandangan pribadi terhadap dunia politik.
Sepanjang masa-masa pemilu USA tahun 2012, dia memang banyak mengisi
kesehariannya dengan menjadi jurnalis untuk media massa tersebut. Hanya saja
Mike lebih akrab dengan seni ketimbang politik. Dia sepertinya belum menemukan
titik temu jitu in between politic and
artistic.
Kelindan seni semakin terwarnai
melalui kehadiran Anna Hillinger. Keduanya melakoni revolusi cinta 2003 silam,
tahun gemilang bagi Mike dan Linkin Park. Perjumpaan
perdana Mike dan Anna berlangsung saat senja, senja remaja dan memang pada
waktu sunset.
Mark Wakefield, sahabat
intim Anna serta vocalist Xero
sebelum kabur dan diganti oleh Chester, menjadi sosok penting dalam perjumpaan
dua raga for satu hati ini.
Mulanya
Mark berusaha merayu Anna untuk menyaksikan Xero yang sedang melakukan pentas
di dekat tempat tinggal Anna. Sebagai penambah gairah, Mark berungkap bahwa dia juga
ingin memperkenalkan Anna pada rapper-nya
Xero. Anna yang sedang selo pun tak
keberatan memenuhi ajakan Mark. Ini adalah kali pertama Anna menghadiri pentas sunset sampai malam.
Saat
itu sendiri Anna sudah cukup mengenal Delson dan Phoenix, yang juga merupakan
punggawa Xero. Hanya saja, dia belum tahu menahu mengenai Mike. Hebatnya,
perjumpaan perdana Anna dan Mike malah tak tampak sebagai ajang perkenalan. Mike
tanpa ragu memberikan kaset yang berisi karya Xero pada Anna.
Tak
begitu lama berselang, dengan kurang ajar Mike mengajak Anna untuk menepi dari
kerumunan. Perjumpaan yang mulanya hanya sebagai ajang perkenalan justru
berbuah menjadi semacam ajang nostalgia antar kekasih setelah lama tak
berjumpa. Kencan perdana bisa dibilang dimulai pada saat itu juga.
Sebagai
puan, Anna terbilang book reader.
Kegemaran membaca sejak kecil bahkan bisa larut dalam bacaan meski sedang duduk
di atas sebuah pohon. Kebiasaan membaca menyuntikkan hasrat untuk bisa
menghasilkan sendiri bahan bacaan. Anna segera menemukan jalannya ketika dia
kelas empat sekolah dasar. Saat itu dia berhasil menerbitkan karyanya melalui
keikutsertaannya dengan program Young Authors.
Puan kelahiran Los Angeles, 07 November
1977, pun kian semangat mengasah hasrat. Hasrat semakin menggeliat ketika Anna
memasuki sekolah menengah dengan menjadi penyunting koran sekolahnya.
Pengalaman ini mengasah ketelitian dan wawasannya terutama dalam menulis. Belakangan
pengalaman tersebut memberi jalan padanya untuk melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi.
Anna yang lahir dari keluarga
menengah berhasil mendapat anugerah beasiswa saat menjadi pelajar progam studi
Communication Studies di Long Beach State.
Selepas lulus dari perguruan tinggi, Anna bekerja sebagai public relations selama beberapa tahun.
Perannya dilakoni sembari berkarya yang banyak ditujukan pada anak-anak dan
remaja. Ketekunan ini membawanya ikutserta sebagai anggota Society of
Children’s Books Writers and Illustrators (SCBWI), lembaga yang dibangun untuk
dipersembahkan pada anak-anak.
Anna tak banyak tampil dalam ranah
hiburan seperti suaminya. Dia tampak sudah merasa bersyukur menjalani
kesehariannya sebagai ibu rumah tangga sembari mengisi waktu luangnya untuk menulis
dan ikutserta dalam beberapa kegiatan non-profit.
Hasrat menulisnya yang lama bergelora pun tak serta merta membuat karyanya
melimpah ruah seperti sang suami. Hingga kini, baru sebuah novel berjudul Learning Not To Drown yang berhasil
dirilisnya pada 01 April 2014.
Sembari sama-sama melampiaskan
hasratnya sendiri, Mike dan Anna berpadu bersama mewujudkan harmoni dalam
keluarga dan rumah tangga yang dibangun mereka. Pondasi kukuh yang dibangun berhasil meneguhkan mereka
dalam kebersamaan yang harmonis. Tak ada bahan mencukupi bagi media massa dan
media sosial untuk menghembuskan kabar cemar perisak hubungan.
Ikatan
personal Mike dan Anna tak serta merta berkelindan dengan ikatan profesional.
Keduanya saling mengerti panggilan nurani yang dijalani pasangan. Mike tak
pernah ikutcampur urusan Anna dengan dunianya, begitu juga sang istri tak
mencampuri pilihan sang suami.
Sebagai
penghibur papan atas dengan perilaku yang ... ya begitulah, Mike terlanjur akrab dengan perilaku penggemar yang
kadang di luar batas. Walau ada rasa cemburu dari Anna, tak membikin keduanya
berseteru. Mike dan Anna terus berpadu manis saling melantan dalam ikatan
azam. Segala risakan yang datang meriak sanggup dihadapi bersama hingga ikatan
mereka tak terhentak.
Shin(e C)oda — petrified keys to the kingdom |