Di tengah berantara rima K-Pop, ada sosok
yang secara tak sengaja, atau mungkin disengaja oleh takdir, menjadi cerminan
dari kaidah-kaidah agung dalam fiqh, khususnya dalam babak female
empowerment. Dia adalah Roseanne Park, atau yang lebih akrab kita sapa Rosé
BLACKPINK. Bukan hanya sekadar main vocalist dengan suara unik yang bisa
menusuk relung hati, Rosé, dengan segala kerentanan dan ekspresinya yang jujur,
justru menjadi pengkhotbah kaidah-kaidah ilahiah yang selama ini tersembunyi di
balik riuhnya tepuk tangan.
Dalam etika keislaman, ada sebuah adagium
pokok yang menjadi fondasi segala niat dan tindakan: al-umūru bi maqāṣidihā,
“اَلْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا”, yang berarti “Segala
perkara tergantung pada tujuannya.” Rosé, dengan caranya sendiri, adalah
seorang Imam Niat paling niat bagi para perempuan. Di dunia yang
menuntut pencitraan dan kepalsuan, saat setiap gesture harus kalkulatif
dan setiap senyum adalah hasil briefing matang, Rosé datang sebagai
pengingat bahwa yang terpenting adalah niat di balik setiap tarikan napas,
setiap nada, dan setiap bulir air mata.
Ketika ia melantunkan nada-nada tinggi yang
penuh emosi, atau ketika ia tak kuasa menahan haru di atas panggung, maqasid-nya
bukanlah untuk mencari simpati berlebih atau drama murahan. Niatnya murni:
menyampaikan esensi lagu, menyalurkan perasaannya sebagai seniman, dan
menyatukan jiwanya dengan melodi.
Kerentanan yang ia tampilkan itu, dengan niat
otentik, adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih agung dari sekadar
hiburan: yaitu koneksi emosional, keindahan seni, dan kebenaran perasaan. Ini
mengajarkan kita bahwa perempuan tak perlu bersembunyi di balik topeng
kesempurnaan, karena niat tulus dalam berkesenian atau berekspresi adalah
kekuatan sejati.
Kita bisa menarik sebuah kearifan cabang yang
berbunyi: al-'ibratu fil 'uqūdi lil maqāṣid wal ma'āni lā lil alfāẓ wal
mabāni, “الْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِلْمَقَاصِدِ
وَالْمَعَانِي لَا لِلْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي”, yakni “Pertimbangan
dalam suatu akad/perjanjian adalah pada tujuan dan maknanya, bukan pada lafaz
dan bangunannya (bentuk luarnya).” Seringkali, kita melihat Rosé hanya sebagai
idola K-Pop dengan wajah cantik, rambut pirang ala Marilyn Monroe, atau sosok
yang terlampau kurus laiknya biting. Namun, ia sebenarnya memprovokasi
kita untuk melihat lebih dalam: apa esensi dan tujuan di balik penampilannya?
Apa makna dari kerentanan yang ia tunjukkan? Bukankah daya tarik dan kekuatan
perempuan sejati tidak terletak pada standar “lafaz” kecantikan yang dangkal
atau tampilan fisiknya, tetapi pada esensi diri, niat, dan makna yang mereka
ciptakan?
Rosé adalah Kitab Makna klandestin. Ia
mengajarkan kita untuk tidak menghakimi buku dari sampulnya, atau lebih
tepatnya, tidak menghakimi seorang perempuan dari estetika Instagram-nya yang
mungkin terkesan sempurna. Yang penting adalah: penampilan hanyalah kulit luar,
sedangkan jiwa, niat, dan ekspresi tulus adalah inti yang sesungguhnya. Rosé
memprovokasi kita untuk membaca bab-bab batinnya, bukan hanya sekadar melihat
cover yang menarik.
Di banyak budaya, terutama di Asia,
kerentanan—apalagi jika diekspresikan secara terbuka oleh perempuan—sering
dianggap sebagai kelemahan atau kemudaratan yang harus disembunyikan. Perempuan
dididik untuk selalu tegar, kuat, dan menyembunyikan sisi rapuh mereka. Namun,
Rosé, dengan berani menunjukkan sisi emosionalnya, mudah tersentuh, bahkan tak
segan meneteskan air mata di hadapan jutaan pasang mata, secara tidak langsung
berupaya "menghilangkan kemudaratan" dari pandangan negatif terhadap
emosi dan kerapuhan manusia.
Rosé dengan sadar meng-khotbah-kan: ad-dhararu
yuzālu, “الضَّرَرُ يُزَالُ”, atau “Kemudaratan
(bahaya) harus dihilangkan.” Di tengah epidemi toxic positivity till the end
dan standar kesempurnaan yang mematikan jiwa, Rosé hadir sebagai antivirus yang
mengatakan: “Tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.” Ia secara tak sadar
menerapkan dengan cara yang paling personal bahwa menghilangkan bahaya
psikologis dari keharusan tampil kuat di setiap waktu, khususnya bagi perempuan
yang seringkali memikul beban ekspektasi ganda.
Setiap air mata atau ekspresi jujurnya adalah
“vaksin” bagi jiwa yang lelah, yang menegaskan bahwa kerentanan bisa menjadi
kekuatan yang memanusiakan dan menginspirasi, serta menciptakan ruang aman bagi
penggemar untuk juga berani mengakui emosi mereka.
Ketika menyimak Rosé melantunkan nada-nada
tinggi di atas panggung, kita tidak hanya sedang terpukau oleh teknik vokalnya.
Walakin, di balik setiap lirik yang penuh perasaan dan setiap tetes air mata
yang jatuh, Allah sedang “mengutus” seorang “pengkhotbah kaidah ilahiah” di
dunia K-Pop, untuk mengingatkan kita tentang niat yang tulus, makna di balik
rupa, dan keberanian untuk menghilangkan bahaya dari kerentanan itu sendiri.
Meskipun begitu, ada satu hal yang tak bisa
saya terima dari semua sifat mulia itu: kalau meng-cover lagunya Park
Bom jangan dibuat medley, itu saja.
K.Rb.Lg.211246.180625.00:27