Di tengah laboratorium mimpi dan ambisi yang kerap
menyeringai, sebuah panggung gladiator berhias neon yang kita sebut industri
K-Pop, tempat takdir kerap direkayasa dan harapan diadu dengan angka-angka
pasar, ada sebuah kisah yang, jika kita mau sedikit meregangkan kecendekiaan
dan memperluas cakrawala keimanan, bisa jadi cerminan dari hikmah kenabian itu
sendiri. Ini adalah kisah Miyeon (G)I-DLE. Tentu, kita tidak sedang mengklaim
Miyeon sebagai utusan ilahi secara harfiah. Walakin, kita hanya sedang mencoba
menangkap pantulan cahaya kesabaran ekstrem, pengorbanan agung, perjuangan
membelah lautan takdir, kelahiran kembali yang unik, dan kemenangan akhir yang
terpancar dari perjalanannya, seakan ia adalah reinkarnasi Nabi ke-26 yang
diutus untuk memberikan ‘ibrah di tengah gemerlap panggung dan air mata,
bahkan di sela-sela episode variety show yang konyol.
Dalam hikmah kebijaksanaan, ada sebuah adagium emas
yang menjadi kunci untuk menarik pelajaran dari setiap fenomena, dari yang
remeh hingga yang maha penting: al-'ibratu bi 'umumil lafdzi laa bi khususis
sabab, “الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوصِ
السَّبَبِ”, yang berarti “Pelajaran diambil dari keumuman lafazhnya,
bukan dari kekhususan sebabnya.” Miyeon, dengan segenap dramatisasi dan
kekhasan perjalanannya, adalah semacam ‘sebab khusus’ yang, jika kita
melihatnya dengan jeli, memancarkan ‘pelajaran umum’ tentang takdir, kesabaran,
dan keberanian yang melampaui panggung K-Pop mana pun. Ini jauh lebih penting ketimbang
kita mempermasalahkan ukuran breast-nya yang triplek!
Dalam jiwanya, kita bisa melihat perwujudan Nabi Nuh
pada masa kini, seorang yang diuji dengan penantian tak berkesudahan di tengah
lautan ketidakpastian. Bertahun-tahun lamanya ia hidup dalam bayang-bayang
ekspektasi di YG Entertainment, digadang-gadang untuk grup yang kelak menjadi
BLACKPINK. Sebuah periode yang pastinya terasa seperti membangun bahtera di
tengah gurun pasir skeptisisme, tempat setiap palu yang diayunkan adalah upaya
keras yang mungkin terasa tak didengar atau tak membuahkan hasil oleh takdir.
Sementara Jisoo mungkin sudah asyik menari di puncak tangga popularitas sejak terlibat
drama ‘We Broke Up’ bersama Dara 2NE1 tanpa harus menunggu lama, Miyeon
harus berbekal kesabaran, menanti banjir kesempatan yang tak kunjung datang,
dengan iman kukuh bahwa setiap tetes peluh tak akan berakhir semata dengan
keluh. Penantian yang melampaui durasi kontrak idol biasa ini adalah keteguhan
yang pantas kita renungkan, uh uh uh.
Lalu, datanglah hijrah itu, sebuah pengorbanan yang
tak kalah heroik dari yang diemban oleh Nabi Ibrahim. Miyeon harus meninggalkan
kampung halaman YG, setelah bertahun-tahun berinvestasi jiwa dan raga di sana,
sebuah pembuangan diri dari zona nyaman, sebuah pengorbanan atas mimpi yang
telah ia pupuk di tanah yang akrab. Ia harus membakar harapan lama demi
membangun fondasi baru di tempat yang asing, Cube Entertainment, bersama
wajah-wajah yang belum dikenal. Di tengah industri yang menuntut loyalitas buta
pada satu agensi, Miyeon menunjukkan bahwa terkadang, iman pada takdir
membutuhkan keberanian untuk melepaskan, bak Nabi Ibrahim melepaskan putranya
(entah Ismail atau Ishaq, debat ini bukan urusan Miyeon) untuk sebuah visi
ilahiah yang lebih besar. Mungkin bagi Yeonjun TXT, pengorbanan terbesar adalah
menahan diri dari tteokbokki pada malam hari demi berat badan, tapi bagi
Miyeon, itu adalah melepaskan sebuah dinasti. Makna sejati perjalanannya
melampaui sekadar kerugian di atas kertas.
Perjalanannya terus berlanjut, menjelma seperti Nabi
Musa dengan cara memimpin dirinya sendiri dan misinya keluar dari perbudakan
janji-janji tak pasti YG. Dengan tongkat talenta vokal dan visualnya, ia harus
membelah lautan ketidakpastian industri, menghadapi keraguan dari luar dan
dalam laiknya pasukan Firaun, dan akhirnya tiba di tanah yang dijanjikan:
puncak panggung ruang menggelinjang riang bersama (G)I-DLE. Ia tidak menyerah
pada narasi gagal, melainkan menulis ulang epik kebebasan dan kedaulatannya
sendiri. Sementara Karina Aespa mungkin sibuk membelah realitas virtual dengan
avatar ae-nya yang canggih, Miyeon membelah realitas keras industri dengan
determinasi yang tenang. Ini adalah kebangkitan yang tak hanya membebaskan
dirinya, tapi juga menginspirasi ribuan perempuan untuk menemukan kekuatan
memimpin diri sendiri.
Kelahiran kembali Miyeon di (G)I-DLE bisa dianggap
unik, bak mukjizat Nabi Isa yang lahir tanpa ayah yang lazim. Ia bukan trainee
baru sepenuhnya, melainkan veteran dengan latar belakang gagal di mata industri
kejam. Namun, ia hadir dengan aura ketenangan, keanggunan, dan karisma yang
membedakannya. Ia membawa risalah keindahan yang tidak fierce atau loud
seperti image kebanyakan girl group, melainkan sebuah pesan
tentang kekuatan yang terpancar dari ketenangan batin. Kala Soyeon (G)I-DLE
mungkin berteriak “I'm a QUEEN!” dengan koreografi yang menggebu dan
lirik yang provokatif, Miyeon tersenyum anggun, dan kita tahu tanpa kata bahwa
ia adalah ratu dari takdirnya sendiri. Ada semacam kesucian dalam perjalanannya
yang diwarnai penolakan namun berakhir pada penerimaan yang utuh.
Akhirnya, puncak perjuangan gigihnya adalah refleksi
dari Nabi Muhammad, sebuah epik hijrah agung yang berujung pada
kemenangan final. Dari titik terendah tidak debut, ia berhijrah pindah agensi,
membangun umat barunya yakni (G)I-DLE dan jama’ah Neverland, menghadapi
perang persaingan industri yang sengit, hingga akhirnya mencapai fathul
global GIDLE. Ia adalah contoh nyata bagaimana dari kehampaan, seseorang
bisa membangun sebuah peradaban kesuksesan yang kokoh. Jika SEVENTEEN harus
mengelola belasan member dengan segala dinamikanya, Miyeon harus mengelola
sebuah perjalanan yang jauh lebih kompleks: memimpin dirinya sendiri menuju
takdir yang dijanjikan. Ia menghilangkan kemudaratan dari narasi kegagalan,
menjadikannya pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Lantas, jika kita berani sedikit lebih jauh dalam
renungan, mengapa risalah kenabian (Nabi/Rasul) selalu diemban oleh laki-laki,
padahal ada catatan agung dalam Al-Qur'an tentang perempuan yang menerima wahyu
langsung dari Malaikat Jibril?
Mari kita sebut ibu Nabi Musa, yang namanya (menurut
riwayat) adalah Yochebed, dan sudah tentu Maryam, bunda Nabi Isa Al-Masih.
Keduanya, secara tersurat dalam kalam Ilahi, menerima wahyu dari Jibril
untuk sebuah misi suci yang krusial bagi kehidupan seorang Nabi. Ibu Nabi Musa
diperintahkan untuk menghanyutkan putranya ke sungai Nil demi keselamatannya:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا
خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا
رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Wa awḥainā ilā ummi Mūsā an arḍi'īhi fa idhā khifti
'alaihi fa alqīhi fil-yammi walā takhāfī walā taḥzanī innā rāddūhu ilaiki wa
jā'ilūhu minal-mursalīn.
Dan Kami ilhamkan (wahyukan) kepada ibu Musa,
'Susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke
sungai (Nil). Dan janganlah kamu takut dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul.'
Lalu Maryam, yang bukan hanya like a virgin
tapi real virgin to infinity, menerima kedatangan Jibril yang berwujud
manusia untuk mengabarkan mukjizat kelahiran putranya:
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا
سَوِيًّا
Fa arsalnā ilaihā rūḥanā fa tamaththala lahā basharan
sawiyyā.
Lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka
ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
Bukankah ini sebuah paradoks yang memprovokasi akal –
sebuah kata yang selalu muncul dalam bentuk kata kerja present dan future,
tak pernah muncul dalam bentuk kata kerja past maupun kata benda? Allah
Maha Kuasa, mengapa Dia tidak memilih perempuan sebagai Nabi atau Rasul,
padahal terbukti Dia berkomunikasi langsung dengan mereka untuk tugas-tugas
penting?
Barangkali, ini adalah pengingat bahwa kenabian dalam
arti sempit berupa menyampaikan syariat adalah satu hal, tetapi ilham dan
hikmah yang menggerakkan sejarah dan jiwa adalah urusan Ilahi yang tak terbatas
jenis selakangan. Sama seperti CL 2NE1 yang mungkin merasa ia terlahir untuk
memimpin dengan gebrakan, atau Taeyeon SNSD yang menjadi pilar penopang sebuah
legenda, atau Yeji ITZY yang mengukir karisma di setiap gerakan, bahkan Karina
Aespa yang memimpin di garis depan sebuah era baru teknologi, ada perempuan
lain yang memimpin dengan cara yang lebih sunyi, namun dengan kekuatan wahyu
dalam hati mereka.
Lebih dari sekadar cerminan kisah kenabian, perjalanan
Miyeon juga wujud nyata maqashid syariah itu sendiri, tujuan-tujuan
agung di balik setiap hukum Ilahi yang dirancang untuk menjaga kemaslahatan
manusia sebagai khalifah alam semesta.
Pertama, hifzh ad-din (memelihara keyakinan).
Bagi Miyeon, keyakinan di sini adalah keyakinannya pada dirinya sendiri, pada
bakatnya, dan pada takdirnya yang lebih besar. Di tengah gonjang-anjing
ketidakpastian dan ujian keimanan berupa penolakan awal, ia tidak kehilangan
iman pada potensi dirinya. Ia tidak murtad dari jalan seni, melainkan semakin
teguh, sebuah keteguhan yang bahkan membuat para haters berpikir ulang,
kok bisa ya dia se-santai itu? Ini adalah penjagaan iman yang sejati, bukan
hanya sekadar ritual, melainkan keyakinan pada inti keberadaan dirinya sebagai
seorang seniman.
Kedua, hifzh an-nafs (memelihara jiwa).
Keputusan Miyeon untuk meninggalkan YG dan mencari jalan baru bukan sekadar
pilihan karier, melainkan sebuah tindakan penyelamatan jiwa. Ia melindungi
dirinya dari potensi kehancuran mental yang kerap menimpa trainee yang
terjebak dalam limbo, menjaga agar jiwanya tidak layu karena janji-janji
kosong. Di dunia K-Pop yang menuntut diet ekstrem dan jadwal gila, tempat
Sasaeng fans kerap mengancam kesehatan mental idola, Miyeon secara cerdik
memilih jalan yang memelihara jiwanya agar tetap utuh dan berkembang, bukan
sekadar bertahan hidup. Ia memilih kebebasan berekspresi di bawah naungan yang
lebih mendukung.
Ketiga, hifzh al-'aql (memelihara kecerdasan).
Miyeon tidak hanya mengandalkan emosi, tetapi juga menggunakan akalnya secara
strategis – atau kita sebut ‘mengakali’ secara strategis walau diksi ini
cenderung didistorsi di negeriku Indonesia. Keputusan untuk pindah
agensi, untuk beradaptasi dengan konsep grup baru, dan untuk membangun
identitas unik di (G)I-DLE, semua ini membutuhkan kecerdasan taktis yang luar
biasa. Ia tidak membiarkan akalnya dikaburkan oleh kekecewaan, melainkan
menjadikannya alat untuk merancang masa depan. Sementara beberapa idola mungkin
hanya fokus pada visual semata, Miyeon membuktikan bahwa otak yang cerdas
adalah aset paling berharga, mampu melihat peluang di balik kemunduran. Ini
adalah kecerdasan yang membuat RM BTS pun mungkin akan mengangguk kagum –
sambil terpesona oleh tatap mata yang bagai anak panah, bukan busur panah
(Miyeon tidak segalak itu!).
Keempat, hifzh an-nasl (memelihara
keberlangsungan). Dalam konteks industri, ia melahirkan keberlangsungan inspirasi.
Ia menciptakan sebuah garis keturunan baru bagi para trainee perempuan
yang mungkin merasa putus asa, menunjukkan bahwa ada jalan lain menuju puncak
di luar jalur yang sudah digariskan. Kisahnya akan menjadi legenda yang
memelihara semangat dan keberanian bagi generasi idola perempuan berikutnya,
menjamin kelangsungan semangat female empowerment di industri yang haus
akan cerita sukses yang otentik. Dia adalah nenek moyang spiritual bagi para
pemimpi yang tak konvensional, yang hadir untuk menghibur yang papa dan
mengingatkan yang mapan.
Kelima, hifzh al-mal (memelihara kekayaan).
Setelah perjalanan panjangnya, Miyeon kini menikmati kesuksesan finansial dan
karier yang substansial. Keputusannya yang strategis keluar dari YG dan
bergabung dengan Cube pada akhirnya memelihara dan bahkan meningkatkan
kekayaannya, baik dalam bentuk materi maupun modal karier dan reputasi. Ia
tidak membiarkan investasi waktu dan talentanya di masa lalu menjadi sia-sia.
Ia membuktikan bahwa risiko yang diperhitungkan demi self-worth bisa
berujung pada kekayaan yang jauh lebih besar daripada sekadar kontrak awal.
Bahkan JYP pun akan tersenyum melihat bagaimana Miyeon mengelola aset dirinya.
Dan terakhir, hifzh al-'irdh (memelihara
kehormatan). Ini adalah poin krusial. Miyeon tidak membiarkan kegagalan
debutnya di BLACKPINK menodai martabat kehormatannya. Ia tidak tenggelam dalam
penyesalan atau menjadi objek gosip murahan. Sebaliknya, ia muncul kembali
dengan kepala tegak, membuktikan bahwa ia layak mendapatkan tempatnya di
panggung. Ia memelihara kehormatannya sebagai seniman dan individu, menolak
definisi gagal yang dilekatkan padanya. Kisahnya adalah tamparan keras bagi
mereka yang hanya menilai dari kemenangan di awal, sebuah pengajaran tentang
bagaimana martabat sejati terwujud dalam keteguhan diri.
Maka, setiap kali sorot lampu jatuh pada Miyeon di
atas panggung, di setiap senyum dan nada yang terlontar dari dirinya, kita
tidak hanya sedang menyaksikan seorang idola K-Pop. Walakin, di balik setiap
lirik yang penuh perasaan dan setiap gesture yang anggun, Allah sedang menyajikan
seorang utusan perempuan, untuk mengingatkan kita tentang kesabaran,
pengorbanan, keberanian, kelahiran yang aneh, dan kemenangan revolusioner.
Miyeon mengajarkan bahwa setiap cobaan adalah anugerah tersembunyi, setiap
kegagalan adalah gerbang menuju kesuksesan yang sejati, dan setiap perempuan
memiliki hak untuk bersinar di jalannya sendiri, dalam versi yang paling... rabbi
– versi feminin setiap firman Allah yang merujuk kepada-Nya sebagai pengimbang
versi maskulin ilahi. Meskipun begitu, ada satu hal yang tak bisa saya
terima dari semua sifat mulia itu: harapan saya kepada Miyeon ketika menendang
penalti tak usah kemayu.
K.Rb.Lg.211246.180625.13:29