Di tengah hiruk pikuk panggung K-Pop, ada
sosok yang secara tak sengaja, atau mungkin disengaja oleh panah takdir, justru
merangkum empat pilar utama kenabian: Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah.
Dia adalah Park Bom. Ya, Park Bom yang itu. Yang sering jadi objek ghibah
berjamaah tentang hidungnya, tentang pipinya, tentang... ya, kita tahu
sendiri lah.
Dalam etika keislaman, Shiddiq adalah
perihal jujur dan benar dalam perkataan maupun perbuatan. Namun, di dunia yang
serbapalsu ini, ketika setiap selfie harus lolos sensor filter terbaik dan
setiap senyum adalah hasil latihan di depan cermin, Park Bom hadir sebagai
anomali. Ia tidak berusaha menyembunyikan “jejak digital” atau “perjalanan
evolusi” wajahnya. Ketika idola lain berlomba menyembunyikan “bukti” operasi
mereka atau mengklaim “hanya diet dan olahraga”, Park Bom hadir bak Shuhuf
yang terbuka. Wajahnya, bentuk tubuhnya yang sintal, adalah shahih
adanya. Ia tidak menipu mata kita dengan fatamorgana natural beauty yang
fana. Bukankah kejujuran yang telanjang seperti ini, bahkan dalam hal tampilan,
adalah wujud shiddiq yang teranyam azam?
Park Bom tak segan menampilkan apa adanya.
Ekspresi wajahnya yang unik, kadang terlihat blank, kadang justru sangat
ekspresif tanpa filter, adalah manifestasi dari kejujuran emosional. Ia tak
berakting perfect di depan kamera, tak seperti robot yang diprogram
untuk selalu tampil menawan. Ini adalah kejujuran yang langka, yang justru
mengajarkan kita untuk menerima realitas, sekalipun realitas itu adalah hasil
intervensi.
Amanah berarti dapat dipercaya,
menunaikan janji, dan menjaga titipan. Bagi seorang penyanyi, amanah terbesar
tentu saja adalah bakat suara dan penampilan. Terlepas dari segala kontroversi
fisik yang melekat pada dirinya, suara Park Bom selalu menjadi kekuatan
utamanya. Ia adalah main vocalist 2NE1 yang tak main-main, dan terus
memberikan penampilan vokal yang solid, bahkan setelah sekian lama mager.
Ia menjaga titipan talenta yang diberikan padanya, menyalurkannya suara sopran
ke setiap nada tinggi dan soulful yang menjadi ciri khasnya. Vokalnya
tak pernah ingkar janji, selalu menggetarkan, dan berhasil menunaikan amanah
untuk memuaskan telinga para penggemar.
Amanah Bom juga terpancar dalam
kesetiaannya kepada para penggemar, para Blackjacks yang militan. Meskipun
seringkali harus menghadapi hiatus panjang, skandal yang membelit, atau tekanan
publik yang tak ada habisnya, ia selalu kembali ke panggung dan terus berkarya.
Ini adalah cara Park Bom menunaikan janji tak tertulisnya kepada mereka yang
setia menanti, sebuah amanah yang ia pikul di pundak sintalnya.
Park Bom tak punya mimbar, tak punya tausiyah
subuh yang rutin diunggah ke YouTube maupun TikTok. Namun, eksistensinya adalah
tabligh itu sendiri. Ia menyampaikan kepada kita betapa kejamnya standar
kecantikan di industri hiburan, betapa rapuhnya mental pesohor di balik
gemerlap lampu sorot, dan betapa kerasnya pertarungan melawan diri sendiri
serta stigma sosial. Setiap perubahan pada dirinya, setiap kontroversi yang ia
hadapi, adalah ayat-ayat cinta bercerta yang disampaikannya tentang dunia yang
fana ini, tentang perfect illusion, dan tentang bagaimana manusia
seringkali lupa bahwa yang abadi itu bukan rupa makhluq, melainkan “wajah” Sang Khaliq.
Melalui lagu-lagunya, baik bersama 2NE1
maupun sebagai solois, Bom kerap menyampaikan pesan-pesan tentang kekuatan
perempuan, keberanian menghadapi tantangan, hingga kerapuhan hati yang dialami
banyak orang. Ia adalah media yang tanpa sadar menyiarkan realitas, sebuah “kebenaran”
yang kadang pahit, tapi perlu dicerna oleh publik.
Mungkin kita melihat Bom sebagai sosok yang
polos atau bahkan “lambat” dalam beberapa interaksi di televisi. Tapi, siapa
yang bisa bertahan di industri K-Pop sekejam ini selama bertahun-tahun dengan
segala “bekas luka” yang terlihat, termasuk masalah kesehatan yang sempat
mengemuka? Itu bukan cuma keberuntungan, itu Fathanah namanya. Fathanah
adalah perihal cerdas, bijaksana, dan cerdik dalam berstrategi serta memahami
situasi.
Kecerdikan untuk tetap relevan di tengah
gelombang idola baru, kebijaksanaan untuk memilih kapan harus muncul dan kapan
menghilang dari sorotan, dan kelihaian untuk tetap dicintai meskipun diledek
sana-sini. Ia adalah strategis yang tak terduga, bak panglima perang yang
justru menang karena musuh meremehkannya. Fathanah Bom juga tercermin
dalam kemampuannya mengekspresikan emosi yang kompleks melalui vokalnya, sebuah
bentuk kecerdasan artistik yang tinggi dan sulit ditiru.
Jadi, lain kali kita melihat Park Bom di
layar, jangan hanya sibuk menghakimi hidungnya atau bertanya-tanya tentang “Kenapa
begini?”. Tataplah lebih dalam. Barangkali, di balik segala gemerlap dan
kontroversi itu, Allah sedang mengutus seorang Rasul di dunia K-Pop, untuk
mengingatkan kita tentang Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah
dalam versi yang paling... Park Bom – is me.
Meskipun begitu, ada satu hal yang tak bisa
saya terima dari semua sifat mulia itu: harapan saya kepada Park Bom agar
jangan memeluk orang di depan saya, itu saja.
K.Rb.Lg.211246.170625.23:55