Mbonek Bareng Akhyar

Mbonek Bareng Akhyar

 

Pagi itu, Ahad 22 Juni 2025, matahari bersinar terik di atas langit Kudus. Udara panas khas pinggir jalan Pantura mulai terasa menyengat kulit. Di pertigaan besar di utara jembatan Tanggul Angin, Kudus, suara klakson truk dan bus bersahutan tiada henti membuat udara terasa penuh getaran. Debu tipis berterbangan setiap kali ada kendaraan besar melintas dengan cepat.

Di sudut pertigaan itu, berdiri empat anak lelaki dengan tas ransel kecil di punggung mereka. Pakaian mereka terlihat bersih dan rapi meskipun bukan seragam pesantren: peci hitam terpasang di kepala masing-masing, memakai kaos dan celana kain atau celana training, serta bersandal jepit. Di dalam tas ransel mereka ada baju ganti minimal satu pasang, termasuk kemeja lengan panjang dan sarung, siap untuk sholat atau menginap darurat.

Mereka adalah Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky. Teman satu sekolah di MI NU Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus, meski berasal dari pondok pesantren yang berbeda. Rizky, yang badannya paling tinggi di antara mereka, terlihat paling gelisah. Tangannya meremas tali tas, matanya sesekali melirik gugup ke sekeliling. Akhyar, yang paling mungil di antara mereka, justru tampak paling bersemangat. Wajahnya berseri-seri penuh rasa ingin tahu mengamati truk-truk besar. Hamka, yang paling tua di kelas 6, terlihat lebih tenang sambil memegang lembaran peta Pulau Jawa yang sudah sedikit terlipat. Kevin, teman sekelas Akhyar di kelas 3, mengamati sekeliling dengan tatapan kritis.

"Jadi, beneran nih, Yar?" Kevin membuka suara, menggunakan panggilan pendek Akhyar. "Kita mau coba 'mbonek' sampai Jakarta? Nggak naik bus atau kereta aja? Lebih aman."

Akhyar tersenyum lebar. "Beneran lah, Vin! Kan seru! Biar punya pengalaman beda sama teman-teman yang lain yang liburan cuma di rumah atau naik bus biasa. Lagian ini lebih hemat juga kan!" Ambisi petualangan dan penghematan tergambar jelas di wajahnya.

"Iya, Vin," sahut Hamka. "Hamka udah setuju. Rizky juga udah diajak Hamka. Kita coba aja. Kalau nggak dapat tumpangan ya nanti mikir lagi cari bus atau elf." Hamka mengeluarkan peta, "Kita di sini, Tanggul Angin." Jarinya menunjuk sebuah titik kecil di Jawa Tengah. "Tujuan kita di sana, pinggiran Jakarta Timur." Jarinya berpindah jauh ke barat, melintasi pulau Jawa. "Kita harus cari truk yang ke arah Barat."

Rizky hanya mengangguk pelan, masih terlihat kurang nyaman dengan keramaian dan ketidakpastian menunggu di pinggir jalan besar.

Tiba-tiba, Hamka menyikut lengan Akhyar pelan. "Yar, lihat deh! Itu kan... Pak Alif?"

Mereka bertiga langsung menoleh. Benar saja! Di pinggir jalan, tidak jauh dari mereka, berdiri sosok yang sangat mereka kenali dan kesali: Pak Alif Danwa, guru Matematika mereka di MI TBS. Beliau terlihat rapi, tapi yang membuat anak-anak agak heran dan saling pandang, Pak Alif menenteng sebuah tas tangan perempuan, dan di sebelahnya berdiri seorang Ibu yang tampak anggun.

Pak Alif sepertinya juga baru menyadari keberadaan keempat muridnya di pinggir jalan itu. Matanya sedikit melebar karena kaget. Beliau tersenyum ramah, disertai sedikit keheranan di wajahnya. Beliau melangkah mendekat bersama Ibu di sebelahnya.

"Lho, Akhyar? Kevin? Hamka? Rizky? Kok kalian ada di sini pagi-pagi begini? Mau ke mana?" sapa Pak Alif, nadanya kaget tapi tetap hangat, menggunakan sapaan pendek nama mereka.

Anak-anak buru-buru menyalami tangan Pak Alif bergantian. Rizky yang paling belakang, menyalami dengan tangan yang sedikit dingin.

"Iya, Pak Alif," jawab Akhyar, "Mau pulang, Pak. Liburan."

"Pulang?" tanya Pak Alif lagi. Beliau tahu asal rumah adik-adik kelasnya ini cukup jauh. "Pulang ke mana? Ke Bogor, Tangerang, Jakarta? Naik apa kok nunggu di sini di pinggir jalan?" Beliau melirik ke arah jalan yang ramai truk.

"Mau coba 'mbonek' Pak," jawab Hamka terus terang.

Pak Alif tampak agak terkejut dan sedikit khawatir. "Mbonek? Wah... hati-hati ya kalian."

Ibu yang bersamanya tersenyum ramah dan ikut mendekat. Pak Alif merangkul pundaknya. "Beb," panggil Pak Alif lembut pada Ibu itu. "Kenalkan, ini bocil-bocil MI TBS. Ini Akhyar," tunjuknya pada Akhyar, "Kelas 3, rumahnya di Bogor." Akhyar menyalami Ibu itu. "Ini Kevin," tunjuk Pak Alif pada Kevin, "Teman sekelas Akhyar, rumahnya di Jakarta Timur." Kevin juga menyalami. "Ini Hamka," Pak Alif menunjuk Hamka, "Yang paling besar, Kelas 6, rumahnya di Tangerang." Hamka menyalami. "Dan ini Rizky," tunjuknya pada Rizky, "Kelas 5, rumahnya juga di Tangerang." Rizky menyalami dengan canggung.

"Wah, jauh-jauh ya rumahnya," kata Ibu Wanda, namanya. Senyumnya sangat ramah.

"Mas," kata Ibu Wanda lembut pada Pak Alif. "Mereka mau perjalanan jauh. Panas-panas gini. Belikan cemilan sama minuman ya, Mas. Buat bekal di jalan."

Pak Alif langsung menoleh pada Ibu Wanda dengan senyum luluh. "Oh iya, Beb. Benar kata Beb. Ide bagus. Siap, Beb!" Tanpa ragu, Pak Alif berjalan cepat menuju sebuah warung kecil di dekat situ.

Anak-anak saling berpandangan, menahan senyum. Guru Matematika mereka yang galak kalau di kelas, ternyata selembut ini sama istrinya! Mereka berbisik pelan, "Wah, Pak Alif..."

Tak lama, Pak Alif kembali membawa satu kantong plastik berisi beberapa bungkus cemilan.

Ibu Wanda melihat isi plastiknya. "Lho, Mas? Kok cuma cemilan? Minumannya mana? Nanti mereka haus lho di jalan panas-panas begini. Harusnya dibelikan minuman juga." Nada suaranya bukan marah, tapi terdengar jelas menyuruh.

"Oh iya ya, Beb. Aduh, lupa. Oke deh, aku belikan minum." Beliau menyerahkan plastik cemilan ke Ibu Wanda, lalu kembali berjalan cepat ke warung.

Kali ini, Akhyar, Hamka, dan Kevin sudah tidak bisa menahan tawa lagi. Mereka terkikik pelan melihat Pak Alif bolak-balik seperti itu. Rizky juga ikut tersenyum geli. Tapi di balik geli itu, ada rasa terharu melihat kebaikan Ibu Wanda dan cara Pak Alif memperlakukan istrinya.

Pak Alif kembali untuk kedua kalinya, membawa beberapa botol minuman. Ibu Wanda mengambil plastik cemilan, dan Pak Alif memberikan botol-botol minuman ke anak-anak.

"Ini, ya Dik. Jangan lupa dimakan sama diminum di jalan ya," kata Ibu Wanda dengan senyum hangat.

Anak-anak menerima bingkisan itu dengan senang hati. "Terima kasih banyak, Bu! Terima kasih banyak, Pak!" ucap mereka serempak. Rasa syukur terpancar di wajah mereka, terutama Rizky.

Pak Alif tersenyum. "Sama-sama. Hati-hati di jalan ya. Semoga Allah jaga kalian sampai rumah. Kalau sudah sampai, langsung kabari orangtua. Jangan bikin khawatir." Beliau melirik arlojinya. "Sudah jam segini, Beb. Ayo kita berangkat." Ucapnya pada Ibu Wanda.

"Iya, Mas," jawab Ibu Wanda ramah.

Setelah berpamitan sekali lagi, Pak Alif dan Ibu Wanda berjalan menjauh. Mereka berdua menghilang di keramaian lalu lintas Pantura.

Begitu Pak Alif dan Ibu Wanda tidak terlihat lagi, Akhyar tertawa lepas. "Hahaha! Pak Alif kalau di kelas kayak Singa! Garang!" dia menirukan gaya galak Pak Alif mengajar. "Tapi kalau sama Ibu Wanda," tawanya semakin kencang, "Jadi kayak Hello Kitty! Lucu banget! Nggak nyangka!"

Kevin dan Hamka ikut tertawa membayangkan kontras itu. Rizky tersenyum sambil memegang erat plastik berisi cemilan dan minuman dari Ibu Wanda. Kebaikan mereka terasa menghangatkan di bawah panasnya mentari pagi.

"Udah, udah," kata Hamka sambil menepuk bahu Akhyar. "Jangan ngetawain Pak Alif mulu. Ayo, kita fokus. Cari truk. Sebelum panas makin terik dan makin susah dapat tumpangan!"

Mereka berempat kembali memandang ke arah jalan yang ramai, mengamati setiap truk yang melintas, berharap ada sopir baik hati yang mau memberi tumpangan. Petualangan mbonek mereka baru saja resmi dimulai di bawah langit Kudus yang cerah. Dan pertemuan singkat dengan guru mereka, yang menunjukkan sisi Hello Kitty-nya di depan istri, ternyata akan memberi wawasan tersendiri dan menjadi penyelamat mereka nanti ketika orang tua mulai cemas mencari kabar.

Setelah Pak Alif dan Ibu Wanda pergi, empat sekawan itu kembali fokus pada misi utama mereka. Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky berdiri di pinggir jalan, melambai-lambaikan tangan setiap kali ada truk bak terbuka yang terlihat melaju tidak terlalu kencang. Debu dari jalanan terus menempel di kaos dan celana mereka, tapi semangat mereka lebih kuat dari itu. Rizky masih terlihat sedikit gelisah, tapi dia berusaha menahannya.

Beberapa truk lewat begitu saja, sopirnya tidak melihat atau mungkin memang tidak mau memberi tumpangan. Hampir satu jam berlalu di bawah matahari yang semakin panas. Pukul sembilan pagi lewat sedikit. Rizky terlihat semakin khawatir, tapi Hamka menepuk pundaknya.

"Sabar, Riz," kata Hamka. "Pasti ada truk yang berhenti kok."

Benar saja. Tidak lama kemudian, sebuah truk dengan muatan kardus yang ditutup terpal terlihat melambat saat mendekati mereka, sekitar pukul sembilan lewat lima menit. Sopir truk itu melihat mereka, dan... truk itu benar-benar berhenti, agak menepi di pinggir jalan.

"Alhamdulillah!" seru Akhyar pelan, lega.

Sopir truk, Bapak Selamet dengan topi lusuh, membuka jendela. "Mau numpang ke mana, Le?" tanyanya.

"Mau ke Barat, Pak! Ke arah Semarang, Pekalongan, terus ke Jakarta!" jawab Hamka cepat.

Sopir itu berpikir sejenak. "Wah, Bapak cuma sampai Alas Roban. Itu belum jauh. Gimana? Mau ikut?"

Anak-anak saling pandang. Alas Roban memang belum sampai kota-kota besar apalagi Jakarta. Tapi ini langkah pertama, dan mereka sudah menunggu cukup lama.

"Nggak apa-apa, Pak! Sampai Alas Roban juga mau!" kata Akhyar cepat.

"Ya udah. Cepat naik!" kata sopir itu sambil membuka pintu bak belakang truk yang ada tangganya.

Dengan sigap, Hamka naik lebih dulu, lalu membantu menarik Rizky dan Kevin. Akhyar naik terakhir dengan lincah. Mereka berempat kini berdiri di atas bak truk yang lumayan luas, di antara tumpukan kardus yang ditutup terpal biru. Pintu bak ditutup kembali. Sopir membunyikan klakson pelan, dan truk mulai bergerak, kembali ke lajunya di jalan Pantura.

Angin langsung menerpa wajah mereka. Sensasinya berbeda sekali dengan naik bus atau mobil pribadi. Pemandangan terlihat lebih luas dan lebih tinggi dari atas bak truk. Rumah-rumah, sawah, pohon-pohon, semua terasa bergerak lebih cepat.

"Wiiih! Seru banget!" seru Akhyar, matanya berbinar takjub. Dia berpegangan pada terpal. Rizky masih terlihat agak tegang, berpegangan erat pada pegangan besi di samping bak, tapi senyum tipis mulai muncul di wajahnya. Kevin mengamati sekeliling, mencoba membaca tulisan di truk-truk lain yang berpapasan. Hamka berdiri tegak, menikmati angin.

"Kita udah jalan nih, Ka! Coba lihat peta kita sudah sampai mana!" kata Akhyar pada Hamka.

Hamka mengeluarkan peta dan penggaris dari tasnya. Dia membuka peta di atas tumpukan kardus, dibantu Akhyar memegangi agar tidak terbang tertiup angin. Rizky mendekat, matanya fokus pada peta dan jalanan.

Dia melihat ke pinggir jalan, mengamati tiang-tiang listrik yang berjejer. Matanya serius. "Hmm," gumam Rizky. "Jarak antar tiang listrik itu biasanya seratus meter." Dia mengambil posisi, mencoba mengukur waktu dengan hitungan dalam hati sambil memperhatikan tiang-tiang yang lewat. "Satu tiang... dua tiang... tiga tiang!" Dia fokus, menghitung waktu yang dibutuhkan truk untuk melewati tiga tiang. "Dua puluh detik!"

Rizky lalu mengestimasi dalam hati, "Tiga tiang berarti tiga ratus meter. Tiga ratus meter dalam dua puluh detik..." Dia berhenti sebentar, menghitung lagi. "Tiga ratus dibagi dua puluh... lima belas meter per detik." Wajahnya berpikir keras, mengingat pelajaran Matematika tentang satuan kecepatan dan cara mengubahnya. "Lima belas meter per detik..."

Matanya berbinar. "Dapat! Lima belas meter per detik itu sama dengan lima puluh empat kilometer per jam, Ka!" Dia melihat ke depan jalan, kembali mengamati laju truk. "Kira-kira segitu kecepatannya kalau truknya jalan stabil terus, nggak sambil ngerem mendadak, atau kena macet."

Kevin mendekat. "Wah, lima puluh empat kilo per jam! Itu lumayan cepat ya, Riz?"

"Oke," kata Hamka, mengambil alih peta lagi. "Sekarang kita ukur jarak ke Alas Roban di peta." Hamka menggunakan penggaris di peta dari Tanggul Angin sampai titik perkiraan Alas Roban. "Di peta... sekitar empat koma tiga senti." Dia mengeluarkan bukunya dan mulai menghitung jarak sebenarnya. "Skala petanya satu banding dua juta lima ratus ribu... berarti ... satu senti di peta sama saja dua puluh lima kilometer jarak aslinya... nah jarak aslinya empat koma tiga dikali dua puluh lima kilometer... seratus tujuh koma lima kilometer!." Dia menggarisbawahi angkanya.

"Seratus tujuh setengah kilo!" ulang Akhyar takjub. "Lumayan jauh ya ternyata dari sini."

Hamka mengangguk. "Nah, karena jaraknya lebih dari sembilan puluh kilometer begini, ini kan sudah termasuk perjalanan jauh yang membolehkan kita untuk men-jama' dan meng-qoshor sholat nanti kalau waktunya masuk," kata Hamka, mengingat salah satu pelajaran Fiqh di pondok maupun di MI. Kevin mengangguk setuju, ini adalah poin Fiqh penting bagi musafir.

"Sekarang hitung waktu sampainya, Riz!" kata Akhyar bersemangat. "Jaraknya seratus tujuh setengah kilo, kecepatannya kira-kira lima puluh empat kilo per jam!"

Rizky kembali fokus pada angkanya. "Seratus tujuh koma lima dibagi lima puluh empat..." Perhitungannya menghasilkan angka desimal. "Hmm, biar gampang dibulatkan saja ya jaraknya jadi seratus delapan kilometer, kan dekat angkanya," usulnya. "Seratus delapan dibagi lima puluh empat... pas dua! Berarti kira-kira kita sampai Alas Roban butuh waktu dua jam, Yar, Ka, Vin!"

"Dua jam!" seru Akhyar. Hamka melihat jam tangannya. "Tadi kita naik truk sekitar jam sembilan pas. Ditambah dua jam... berarti kita kira-kira sampai Alas Roban jam sebelas nanti! Pas dengan yang kamu hitung, Riz!"

Mereka berempat mengangguk, bangga dengan perhitungan awal mereka menggunakan peta dan tiang listrik yang dilalui. Perjalanan di atas truk pertama terasa mendebarkan sekaligus menjadi laboratorium matematika bagi mereka. Angin Pantura terus menerpa wajah, membawa mereka semakin jauh dari Kudus, menuju petualangan yang tak terduga di depan. Jam menunjukkan sekitar pukul sebelas. Sebentar lagi mereka akan tiba di Alas Roban, tepat seperti yang mereka perkirakan.

Deru mesin truk melambat. Guncangan mulai berkurang. Angin yang tadinya kencang menerpa wajah kini terasa mereda. Truk pertama mereka, si pembawa kardus, melambat dan akhirnya berhenti sepenuhnya di sebuah tempat peristirahatan truk yang lumayan luas di area Alas Roban. Ada beberapa warung makan sederhana dan truk-truk lain yang parkir.

Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky turun dari bak truk. Kaki mereka terasa sedikit kaku setelah berdiri hampir dua setengah jam. Mereka menjejakkan kaki di tanah, menghirup udara yang tidak lagi dipenuhi asap knalpot truk yang bergerak.

"Alhamdulillah, sampai!" seru Akhyar sambil merenggangkan badan.

Selepas makan, Hamka segera melihat jam tangannya. "Jam sebelas lewat tiga puluh delapan menit," katanya.

Kevin mengerutkan dahi. "Lho? Tadi kan kita hitung sampainya jam sebelas pas, Ka?"

"Iya," sahut Akhyar. "Meleset tiga puluh delapan menit ya?"

Rizky, yang sedang membereskan peta dan penggarisnya, mendekat. Dia mengerti kenapa teman-temannya bingung. "Perhitungan kita tadi itu kalau truknya jalan terus stabil di lima puluh empat kilometer per jam, Vin, Yar," jelas Rizky, mengingat kembali pelajaran tentang variabel di dunia nyata. "Tapi kan di jalan nggak gitu. Kadang sopirnya ngerem mendadak, atau pas di depan ada truk yang lebih pelan, atau pas jalanannya agak menanjak sedikit kayak di Alas Roban ini, truknya pasti melambat. Terus tadi ada lampu merah di persimpangan, truknya berhenti sebentar juga."

"Oh iya ya," Akhyar dan Kevin mengangguk-angguk. Mereka lupa mempertimbangkan hal-hal itu. Perhitungan matematika mereka pas di atas kertas dan kalau kecepatannya konstan, tapi di dunia nyata banyak faktor lain yang memengaruhi laju kendaraan.

Hamka menepuk bahu Rizky. "Nggak apa-apa, Riz. Perhitunganmu udah bagus kok. Setidaknya kita bisa tahu kira-kira butuh waktu berapa lama kalau jalannya lancar. Berarti perkiraan kita tadi lumayan dekat."

Saat mereka masih berdiri dan berbicara tentang melesetnya prediksi waktu, tiba-tiba terdengar suara merdu dari kejauhan.

"Allaahu Akbar... Allaahu Akbar..."

Suara adzan Dzuhur. Panggilan sholat.

Mereka berempat terdiam sesaat, mendengarkan adzan yang menggema. Hamka melihat jamnya lagi. Pukul sebelas empat puluh lima menit. Waktu Dzuhur sudah masuk.

Kevin, si paling kritis soal Fiqh, langsung mendapat ide. Matanya berbinar. "Udah adzan nih! Waktunya Dzuhur!" serunya, suaranya penuh keyakinan. "Kan kita musafir! Jarak dari Kudus ke sini tadi lebih dari seratus kilo! Berarti kita boleh jama' dan qoshor!"

Akhyar, Hamka, dan Rizky memandang Kevin. Benar juga! Pelajaran Fiqh tentang sholat bagi musafir langsung terlintas di benak mereka.

"Kita sholat sekarang aja yuk!" ajak Kevin lagi. "Jama' Dzuhur sama Ashar sekaligus, terus di-qoshor dua rakaat aja masing-masing! Biar santai, nanti kalau kita sudah dapat truk lagi dan di perjalanan, nggak buru-buru sholatnya."

Ide Kevin langsung disetujui. Melakukan sholat jama' taqdim (menggabungkan sholat Ashar ke waktu Dzuhur) dan qoshor (meringkas dari empat jadi dua rakaat) adalah kemudahan bagi musafir, dan melakukannya seketika saat adzan berkumandang terasa paling pas.

"Ayo!" kata Akhyar bersemangat. "Cari mushollanya!"

Mereka berempat mulai melangkah, mencari musholla atau tempat sholat di area peristirahatan truk Alas Roban itu, siap melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashar secara jama' taqdim dan qoshor.

Panggilan adzan Dzuhur masih menggema samar-samar di udara panas Alas Roban. Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky segera mencari musholla di area peristirahatan truk itu. Mereka menemukannya, sebuah bangunan kecil di dekat deretan warung. Ada tempat wudhu di luarnya berupa deretan keran dan bak air kecil. Namun, ada juga area toilet di dekatnya.

"Alhamdulillah, ada musholla," kata Hamka.

Mereka berempat bergegas bersiap untuk wudhu. Kevin dan Rizky menuju deretan keran wudhu utama. Sementara Akhyar dan Hamka bergegas ke area toilet terdekat untuk buang air kecil terlebih dahulu.

Setelah buang air kecil, Hamka dan Akhyar langsung wudhu. Di dalam toilet, ada bak mandi kecil di dalam sebuah bilik yang juga bisa dipakai wudhu. Akhyar memutuskan wudhu di bak itu saja karena dekat.

Kevin dan Rizky, yang mungkin sudah selesai wudhu di keran utama atau sedang menunggu giliran, melihat Akhyar. "Yar, wudhu di situ? Nggak di keran aja?" tanya Kevin.

"Di sini aja, Vin. Dekat," jawab Akhyar sambil mulai menciduk air dari bak kecil itu menggunakan tangannya. Dia membasuh wajahnya. Air bekas basuhan wajahnya menetes kembali ke dalam bak.

Di sebelahnya, Hamka juga wudhu di bak yang sama, tapi dia menggunakan gayung plastik yang ada di sana. Air bekas wudhu Hamka tidak menetes kembali ke bak, melainkan jatuh ke lantai di luar bak.

Rizky, yang matanya jeli karena terbiasa mengamati hal detail, melihat cara wudhu Akhyar. "Yar, kok langsung diciduk dari bak gitu? Airnya nggak balik lagi ke bak?" tanyanya polos, tapi matanya mengamati bak air itu.

Kevin, si kritis Fiqh, langsung menangkap keanehan ini. "Nah! Itu dia, Yar!" serunya, suaranya meninggi. "Kan air bekas wudhu itu namanya air musta'mal! Air yang sudah dipakai untuk ibadah. Kalau air musta'mal netes balik ke bak air, apalagi baknya kecil, nanti air di bak itu jadi musta'mal semua! Nggak sah lagi buat wudhu!"

Akhyar mengerutkan dahi, merasa tidak terima. "Lho kok gitu? Kan sama aja airnya? Baknya kan bersih."

"Beda dong!" balas Kevin. "Kalau baknya kecil, terus kemasukan air bekas wudhu kita, air di bak itu nggak suci lagi buat wudhu! Wudhu pakai air nggak suci kan nggak sah!"

Perdebatan pun pecah di samping toilet. Akhyar membela diri, bilang dia biasa begini. Kevin bersikeras dengan aturan Fiqh tentang air musta'mal dan volume air. Hamka mencoba menengahi, "Udah, udah, jangan debat di sini. Yang penting kan wudhunya sah, ayo buruan mau jama' taqdim nih."

Tapi Kevin tidak mau mengalah. "Justru ini penting, Ka! Wudhu nggak sah, sholatnya nggak sah juga! Baknya kelihatannya kecil. Kalau kurang dari qullatayn, airnya cepat jadi musta'mal kalau kemasukan air bekas!" Kevin menyebut istilah yang agak teknis: qullatayn.

Rizky, yang dari tadi mengamati bak air itu, mendapat ide. Matanya berbinar. "Tunggu! Aku tahu cara membuktikannya!" serunya, menarik perhatian teman-temannya. "Kita ukur aja bak airnya! Kita hitung volumenya! Kan Pak Alif pernah ngajarin cara ngitung volume bak dari ukuran keramiknya!"

Ide Rizky diterima. Bak air itu ternyata dilapisi keramik-keramik kecil berwarna terang. Rizky mendekat, jarinya mulai menghitung jumlah keramik di sisi panjang, lebar, dan tinggi bak.

"Satu, dua... dua keramik di panjangnya," kata Rizky. "Satu, dua... dua keramik di lebarnya. Satu, dua... dua keramik tingginya." Dia mengingat ukuran standar keramik kecil di kamar mandi. "Keramik kecil itu biasanya tiga puluh senti. Berarti panjang baknya dua dikali tiga puluh... enam puluh senti. Lebarnya enam puluh senti, tingginya juga enam puluh senti!"

Rizky memasukkan hasul pengukuran dalam hati. "Volume baknya berarti enam puluh senti dikali enam puluh senti dikali enam puluh senti..." Pikirnya dalam hati. "Dua ratus enam belas ribu centimeter kubik!"

"Dua ratus enam belas ribu senti kubik?" ulang Akhyar, Kevin, dan Hamka agak bingung dengan angka besar itu.

"Iya!" seru Rizky. "Kalau dijadikan liter... dibagi seribu... dua ratus enam belas liter!" Dia menatap Kevin dengan mata berbinar. "Dua ratus enam belas liter! Itu pas! Qullatayn itu katanya sekitar dua ratus enam belas liter!"

Kevin terdiam sejenak, memproses angka Rizky. "Dua ratus enam belas liter... pas qullatayn?" Dia berpikir, mengingat pelajaran Fiqh yang terkait. Volume 2 qullah memang standarnya sekitar 216 liter. "Kalau airnya dua qullah atau lebih, memang benar, mau kemasukan air musta'mal atau najis yang tidak mengubah sifat airnya, baknya tetap suci!" kata Kevin.

"Nah!" seru Akhyar, merasa menang. "Berarti wudhuku sah dong! Baknya pas kok volumenya!"

"Tunggu dulu, Yar!" potong Rizky. Dia menunjuk bak itu lagi. "Volume baknya memang dua ratus enam belas liter kalau penuh. Tapi tadi waktu kamu wudhu, airnya tidak penuh, kan? Cuma ada setengahnya atau lebih sedikit!"

Kevin langsung menangkap poin Rizky. Wajahnya kembali serius. "Itu dia masalahnya, Yar! Kalau air di bak itu volumenya kurang dari qullatayn, terus ketetesan air musta'mal dari wudhu kamu, air di bak itu langsung ikut jadi musta'mal semua! Nggak bisa dipakai wudhu lagi! Tadi airnya nggak penuh kan pas kamu ciduk?"

Akhyar terdiam. Dia ingat air di bak itu memang tidak penuh. Wajahnya berubah dari merasa menang jadi kesal. "Ah! Ribet amat sih! Gitu doang?!" gerutunya. Dia menatap bak air yang kini seperti objek masalah besar.

"Ini penting, Yar!" kata Kevin tegas. "Wudhu itu syarat sah sholat! Pak guru kita juga sering ingatkan kan soal pentingnya air yang suci dan menyucikan! Beliau galak banget kalau soal bersuci!"

Akhyar menghela napas panjang. Wajahnya cemberut, kesal karena harus mengulangi wudhu hanya karena volume air dan cara menciduk. Tapi dia tahu Kevin benar, dan perhitungan Rizky juga tepat.

"Ya sudah!" kata Akhyar akhirnya, meskipun masih terdengar kesal. "Aku wudhu lagi!" Dia mengambil gayung plastik di samping bak itu, atau mungkin beralih ke keran utama tempat wudhu yang lain yang lebih pasti suci.

Dengan diawasi Kevin dan Rizky, Akhyar mengulangi wudhunya dengan benar, memastikan air bekas wudhu tidak kembali ke bak atau menggunakan air dari keran langsung. Hamka menunggu dengan sabar.

Setelah semua dipastikan wudhunya sah, mereka berempat pun masuk ke musholla kecil itu untuk melaksanakan Sholat Dzuhur dan Ashar secara jama' taqdim dan qoshor. Sholat kali ini terasa penuh makna, mengingat perdebatan sengit soal air wudhu yang baru saja mereka lalui di samping bak mandi kecil.

Setelah salam, mereka berdoa sejenak. Wajah-wajah lelah mereka terlihat lebih segar dan tenang setelah menunaikan kewajiban sholat di tengah perjalanan, meskipun tadi sempat ada drama kecil.

"Alhamdulillah," ucap Akhyar, terdengar lebih tulus setelah tadi kesal. "Enak ya, Sholatnya kalau di-qoshor, jadi pendek kayak tubuhku. Untung tadi wudhunya dikoreksi sama Kevin."

"Iya," timpal Kevin, tersenyum. "Dua rakaat-dua rakaat. Nggak kerasa sudah selesai Dzuhur sama Ashar." Dia melirik Rizky. "Perhitunganmu pas banget, Riz! Sama teorinya Pak Alif!"

Hamka tersenyum. "Itulah gunanya keringanan dari Allah buat musafir kayak kita. Jarak perjalanan kita kan jauh, jadi boleh di-jama' dan di-qoshor. Dan untung kalian jeli soal wudhu tadi." Dia teringat pelajaran Fiqh tentang syarat-syarat Sholat bagi musafir, termasuk jarak minimal dan pentingnya bersuci dengan benar.

Rizky mengangguk setuju, merasa senang perhitungan dan penjelasannya berguna. Dia melihat jamnya. Sudah lewat pukul dua belas.

"Oke, Sholat sudah," kata Hamka, kembali ke mode petualangan. "Sekarang kita cari truk lagi ke arah Tegal atau Cirebon."

Mereka keluar dari musholla. Matahari sudah semakin tinggi, menunjukkan waktu telah beranjak siang. Mereka kembali ke pinggir jalan area peristirahatan, mencari posisi yang bagus untuk 'menembak' truk. Proses menunggu dimulai lagi. Kali ini mereka mungkin sudah sedikit lebih siap, meski lebih lelah. Mereka menggunakan waktu menunggu sambil menghabiskan sisa cemilan dan minuman pemberian Pak Alif dan Ibu Wanda, merefleksikan petualangan barusan.

Setelah selesai menunaikan Sholat Dzuhur dan Ashar secara jama' qoshor di musholla Alas Roban, perasaan lega dan segar menyelimuti Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky. Matahari sudah semakin tinggi, menunjukkan waktu telah beranjak siang menuju sore. Setelah menghabiskan sisa cemilan dan minuman dari Pak Alif dan Ibu Wanda sambil merefleksikan perdebatan wudhu tadi, mereka kembali ke pinggir jalan area peristirahatan, siap mencari truk berikutnya.

Proses menunggu dimulai lagi. Sekitar satu jam berlalu. Saat pandangan mereka menyapu truk-truk yang datang dari arah timur, sebuah truk kontainer besar menarik perhatian mereka. Baknya tertutup rapat, tapi yang membuat mereka terkejut sekaligus takjub, di balik kemudi duduk seorang Ibu-ibu! Dan di sebelahnya, di kursi kondektur, juga seorang Ibu-ibu lain! Keduanya tampak sekitar usia 30-an tahun.

"Lho! Sopirnya Ibu-ibu?" seru Akhyar tak percaya.

"Iya! Sama kondekturnya juga!" timpal Kevin, matanya membulati.

Hamka tidak ragu. Dia segera melambai lebih semangat dari biasanya. Truk itu melambat, dan berhenti di depan mereka!

Sopir perempuan itu tersenyum ramah dari balik kemudi. "Mau numpang ke mana, Nak?" tanyanya. Suaranya terdengar tegas tapi hangat. Beliau adalah Bu Atik. Di sebelahnya, Bu Mala, juga tersenyum.

"Mau ke Barat, Bu! Ke Jakarta!" jawab Hamka dan Akhyar serempak.

Bu Atik melihat ke arah Bu Mala, yang juga tersenyum. "Wah, pas banget! Ibu mau ke Jakarta juga ini. Lewat Pantura non-tol. Tapi Ibu nggak masuk terminal, paling nanti nurunin muatan di area Cakung atau Pulo Gadung. Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Bu! Pas banget!" seru anak-anak lega. Tujuan akhir mereka memang di area itu.

"Ya udah," kata Bu Atik. "Tapi di bak belakang kan nggak bisa ditambah orang, isinya muatan. Bahaya juga kalau berdiri di situ. Mau di dalam aja? Di belakang jok Ibu ada ruang lumayan."

Anak-anak sangat terkejut dan senang mendengar tawaran itu. Naik di dalam kabin truk kontainer? Wow!

"Mau, Bu! Mau! Terima kasih banyak!" jawab mereka penuh semangat.

Bu Atik membukakan pintu kabin. Hamka, Akhyar, Kevin, dan Rizky naik, merangkak ke ruang kosong di belakang jok supir dan kondektur. Ruangan itu sempit tapi jauh lebih nyaman, bersih, dan aman daripada bak terbuka. Ada alas duduk sederhana. Mereka bisa duduk bersila atau menyender.

Truk pun kembali bergerak, melanjutkan perjalanan di jalan Pantura yang ramai. Angin dari luar tidak lagi menerpa langsung. Suara mesin truk terdengar stabil, tapi tidak sekeras di bak terbuka. Matahari sudah agak condong, menunjukkan waktu semakin sore. Mereka naik ke truk ini sekitar pukul dua belas lewat lima belas menit tadi.

Setelah mereka duduk nyaman dan truk mulai melaju, Rizky yang pendiam melihat ke arah dashboard truk. Matanya fokus pada speedometer. Angka di speedometer bergerak-gerak naik turun, tidak stabil di satu angka.

"Angkanya goyang terus ya?" gumam Rizky. Dia mengamati speedometer selama beberapa saat, melihat angkanya yang kadang lima puluh, kadang enam puluh, kadang tujuh puluh kilometer per jam. "Kecepatannya di kisaran lima puluh sampai tujuh puluh kilometer per jam." Dia kembali memasukkan hasil pengamatan dalam hati dan memperkirakan. "Kalau rata-ratanya... hmm... sekitar lima puluh sampai lima puluh lima kilometer per jam lah rata-ratanya," kata Rizky, mencoba menentukan angka perkiraan yang paling pas di tengah fluktuasi.

Hamka mengeluarkan peta lagi. "Jarak dari Alas Roban ke Pulo Gadung jauh banget nih," katanya, menunjuk peta. Dia menggunakan penggaris untuk mengukur dan memperkirakan jarak di peta dengan skala yang ada. "Sekitar... Empat ratus lima puluh kilometer!"

"Empat ratus lima puluh kilo?!" seru Akhyar kaget.

"Iya," kata Hamka. "Jauh banget."

Rizky sudah fokus pada angkanya. Jarak 450 kilometer, kecepatan rata-rata 50-55 kilometer per jam. Dia mulai berpikir dalam hati. Waktu tempuh sama dengan jarak dibagi kecepatan rata-rata.

"Empat ratus lima puluh kilometer dibagi kira-kira lima puluh lima kilometer per jam..." gumam Rizky sambil mencoret-coret. "Hasilnya... sekitar delapan koma satu delapan... Delapan jam lebih dikit. Kalau dibagi lima puluh... pas sembilan jam." Dia melihat jam tangan Hamka. Mereka naik truk sekitar jam 12:15. Ditambah sekitar delapan setengah sampai sembilan jam.

"Wah," kata Rizky, matanya membulat. "Sampainya nanti malam banget. Sekitar jam sembilan malam atau lebih sedikit."

"Jam sembilan malam?" ulang Akhyar dan Kevin takjub sekaligus lelah membayangkannya. Perjalanan ini akan sangat panjang.

Kesadaran bahwa mereka akan tiba sangat larut malam, jauh melewati waktu Sholat Maghrib, langsung memicu pikiran tentang sholat berikutnya.

"Sampai jam sembilan malam... berarti Sholat Maghrib sama Isya' nya..." kata Kevin menggantung.

"Jama' Takkhir!" sahut Akhyar cepat.

"Iya," Kevin mengangguk. "Maghrib sama Isya' di waktu Isya'. Kan kita masih di perjalanan jauh dan sampainya sudah malam."

"Betul," Hamka menimpali. "Kalau sampainya jam sembilan, waktu Maghrib sudah habis. Memang paling pas di-jama' takkhir." Dia teringat lagi pelajaran tentang syarat dan niat Sholat jama' takkhir, yang dilakukan menggabungkan Maghrib dan Isya' di waktu Isya'. Mereka pernah belajar kalau niat ta'khir itu bisa dilakukan di waktu sholat pertama (Maghrib) tapi sholatnya baru dilaksanakan di waktu sholat kedua (Isya'), dan niat ta'khir itu membolehkan musafir untuk beristirahat atau bahkan tertidur di antara waktu sholat pertama dan kedua.

"Berarti nanti pas masuk waktu Maghrib kita niat jama' takkhir ya?" tanya Akhyar.

"Iya, niatnya di hati, pas masih di waktu Maghrib," kata Kevin. "Terus sholatnya nanti pas sudah sampai atau pas waktu Isya' masuk kalau di perjalanan ada tempat berhenti yang pas."

"Oke!" kata mereka bertiga sepakat. Rencana Sholat Maghrib dan Isya' di malam hari sudah jelas.

Sambil truk terus melaju, Akhyar mengamati Bu Atik dan Bu Mala di kursi depan. "Hebat ya Ibu-ibu ini?" gumamnya. "Jadi sopir sama kondektur truk besar gini? Nggak capek ya nyetir jauh?"

Kevin mengangguk. "Jarang lihat ya. Biasanya kan Bapak-bapak. Kok bisa ya?"

Tiba-tiba, Akhyar teringat sesuatu, dan dia tidak bisa menahan senyum geli. Dia menyikut lengan Kevin dan Hamka. "Hey, kalian ingat nggak?" katanya pelan sambil menahan tawa. "Tadi pagi, waktu kita ketemu Pak Alif sama Ibu Wanda di Tanggul Angin?"

Hamka dan Kevin mengangguk, bingung kenapa Akhyar tiba-tiba membahas itu. Rizky juga mendengarkan.

"Pak Alif kan kalau di kelas kayak Singa ya?" kata Akhyar, menirukan gaya galak Pak Alif. "Tapi waktu sama Ibu Wanda... hahaha!" Akhyar tertawa pelan, membayangkan gurunya disuruh-suruh Ibu Wanda sambil menenteng tas. "Di suruh beliin cemilan sama minuman, langsung siap! Disuruh bolak-balik, nurut aja! Kayak... kayak..." Akhyar tertawa semakin geli, membayangkan gurunya menjadi karakter kartun. "Kayak Hello Kitty!"

Kevin dan Hamka langsung ikut tertawa terbahak-bahak, meskipun tertahan agar tidak terlalu keras. Membayangkan guru Matematika mereka yang garang di kelas berubah jadi penurut di depan istrinya memang sangat lucu. Rizky juga ikut tersenyum, geli mengingat momen itu.

Tawa mereka, meskipun pelan, ternyata terdengar oleh Bu Atik dan Bu Mala di depan. Bu Mala menoleh ke belakang dengan senyum ramah.

"Kok ketawa-ketawa, Nak? Ingat apa yang lucu?" tanya Bu Mala.

Mereka berempat agak malu karena ketahuan. Tapi Akhyar, dengan berani dan sedikit geli, menjawab. "Ingat Pak Alif, Bu. Guru Matematika kami. Tadi pagi ketemu sama istrinya, Ibu Wanda. Lucu, Bu. Pak Alif itu kalau di kelas kayak Singa! Galak kalau kami nggak bisa matematika. Tapi kalau sama Ibu Wanda, jadi kayak... Hello Kitty! Nurut banget! Hahaha!" Akhyar tertawa lagi, diikuti teman-temannya.

Bu Atik dan Bu Mala ikut tersenyum mendengar cerita itu. Bu Atik berbicara sambil tetap fokus mengemudi. "Oalah... ada-ada saja kalian ini. Guru kalian lucu juga ya. Memang, Nak. Lelaki itu kepala keluarga, tapi menghargai istri itu penting. Tidak berarti jadi tidak kuat atau tidak hebat kalau mau membantu atau menurut pada istri. Istri juga kepala rumah tangga."

Bu Mala menambahkan, "Soal Ibu-ibu kayak kami nyetir truk gini, memang tidak banyak sih. Tapi kan kemampuan itu bukan soal lelaki atau perempuan, Nak. Yang penting mau belajar dan bisa."

"Dulu," kata Bu Mala, suaranya terdengar seperti sedang mendongeng, "Di zaman Nabi kita, ada lho perempuan hebat luar biasa. Sayyidah Khadijah, istri pertama Nabi, beliau pengusaha sukses sekali, hartanya banyak, membuka lapangan kerja untuk banyak orang. Nabi Muhammad saja sebelum menikah bekerja kepada Sayyidah Khadijah."

"Atau Sayyidah Aisyah," sambung Bu Atik, "Beliau cerdas, meriwayatkan banyak hadis. Dan berani sekali, pernah punya peran penting, memimpin pasukan di medan perang!" Kevin dan Akhyar terbelalak mendengar Sayyidah Aisyah memimpin pasukan.

"Di zaman kerajaan dulu juga ada," sambung Bu Atik. "Kalian tahu kerajaan Majapahit? Ada Ibu agung di sana namanya Gayatri. Beliau sangat bijaksana, pengaruhnya besar dalam mengatur kerajaan. Atau di Aceh sana, ada jenderal perempuan yang memimpin perang di laut melawan Belanda! Namanya Laksamana Malahayati. Beliau hebat sekali strategi perangnya!" Hamka dan Akhyar tampak takjub mendengar nama-nama itu.

"Wah..." gumam Akhyar. "Banyak ya Ibu-ibu hebat yang memimpin dan berperang..."

Hamka menyambung, "Berarti sama ya kayak almarhumah Bu Nyai Fadhilaturrahmah di pondok kami, beliau juga luar biasa ilmunya, mendirikan dan memimpin pondok sebesar itu. Pondoknya saja lebih dikenal dengan Pondok Bu Fadhil. Pekerjaan 'besar' tidak hanya untuk Bapak-bapak ya?"

Bu Atik dan Bu Mala tersenyum mendengar pemikiran anak-anak itu. "Nah! Betul!" kata Bu Atik. "Jadi jangan heran ya kalau lihat Ibu-ibu bisa nyetir truk atau melakukan pekerjaan lain yang kelihatannya cuma buat lelaki. Yang penting niatnya baik, punya ilmunya, punya kemampuannya, mau lelaki mau perempuan, bisa sama-sama hebatnya! Membangun negara ini juga butuh Ibu-ibu yang kuat, pintar, dan berani!"

Anak-anak mengangguk-angguk, pikiran mereka terbuka. Obrolan di kabin truk yang melaju di malam hari ini terasa seperti pelajaran dari Pak Alif, tapi dalam bentuk yang berbeda dan sangat nyata di depan mata mereka.

Perjalanan terus berlanjut. Lampu-luar jalan mulai menyala. Malam pun semakin larut di luar jendela kabin truk kontainer. Suara mesin truk terdengar monoton. Kelelahan mulai terasa setelah hari yang panjang. Mereka mengeluarkan sisa cemilan, memakannya pelan-pelan. Dengan rencana sholat jama' takkhir yang sudah jelas dan kenyamanan di dalam kabin, beberapa di antara mereka mulai menyender dan tertidur lelap, dibawa melaju menyusuri gelapnya Pantura menuju Jakarta.

Deru mesin truk kontainer yang sudah menemani mereka selama berjam-jam perlahan melambat. Lampu-lampu jalan di luar jendela kabin mulai terlihat lebih banyak dan terang, menandakan mereka sudah mendekati area perkotaan besar. Truk melambat lagi, lalu berhenti di pinggir jalan yang ramai, di area sekitar Pulo Gadung, Jakarta Timur. Malam sudah sangat larut, jam menunjukkan sekitar pukul sembilan malam lebih sedikit, sesuai perkiraan Rizky.

"Sudah sampai, Nak," kata Bu Atik, suaranya terdengar lelah tapi tetap ramah. "Area sini sudah dekat Terminal Pulo Gadung. Hati-hati ya turunnya."

Akhyar, Hamka, Kevin, dan Rizky merenggangkan badan. Kaki mereka kaku, mata mereka mengantuk. Tapi ada rasa lega yang luar biasa karena sudah sampai di tujuan utama perjalanan mbonek mereka.

Mereka satu per satu turun dari kabin truk. Udara malam di Jakarta terasa berbeda dengan di Pantura tadi, lebih hangat dan ramai suara kendaraan meskipun sudah malam.

"Terima kasih banyak ya, Bu Atik! Terima kasih banyak, Bu Mala!" ucap mereka serempak, menyalami kedua Ibu sopir dan kondektur itu dengan takzim.

Bu Atik dan Bu Mala tersenyum. "Sama-sama, Nak. Hebat kalian ini, berani sekali. Hati-hati ya. Langsung cari tempat yang aman untuk istirahat atau menunggu Subuh. Jangan keluyuran malam-malam di sini."

"Iya, Bu. Siap," jawab Hamka.

Setelah berpamitan, truk kontainer itu pun melanjutkan perjalanannya, meninggalkan empat anak santri yang kini berdiri di pinggir jalan besar di Pulo Gadung, di bawah kerlip lampu malam.

"Alhamdulillah... sampai juga kita!" kata Akhyar, suaranya serak tapi penuh kelegaan.

"Capek banget ya," gumam Kevin, meregangkan pinggang.

"Ayo kita cari tempat aman buat istirahat sampai Subuh," ajak Hamka. Mereka melihat sekeliling, mencari masjid terdekat atau area terminal yang bisa jadi tempat singgah sementara.

Tak jauh dari situ, mereka melihat bangunan yang sepertinya adalah masjid atau musholla dengan teras yang lumayan luas. Mereka berjalan ke sana. Ternyata benar, ada teras yang cukup bersih dan terlindung. Beberapa orang juga terlihat beristirahat di sana.

Mereka memilih sudut yang pas. Meletakkan tas ransel mereka. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh malam.

"Sudah masuk waktu Isya' lama ini," kata Kevin. "Ayo kita sholat Maghrib sama Isya'. Jama' Takkhir."

Meskipun lelah, kewajiban sholat tetap utama. Mereka mencari tempat wudhu di musholla itu. Airnya segar.

Kevin dan Rizky mungkin menuju keran wudhu utama, sementara Akhyar dan Hamka menuju area toilet terdekat dulu sebelum wudhu.

Di dalam area toilet, Akhyar mencari tempat wudhu. Saat mulai menciduk air dari bak atau keran di sana dengan hati-hati, dia teringat perdebatan sengit di Alas Roban tadi siang. Bak air kecil, air musta'mal, perhitungan Rizky yang pas, dan koreksi Kevin yang membuatnya kesal. Dia tersenyum geli sedikit, tapi memastikan kali ini wudhunya benar-benar sah. Setiap gerakan wudhunya dia lakukan dengan hati-hati, memastikan air bekas basuhan tidak kembali ke sumber air bersih atau bak.

Akhyar keluar dari area toilet setelah berwudhu. Kevin, yang mungkin sudah selesai wudhu duluan di keran utama, melihatnya.

"Gimana, Yar, wudhunya?" tanya Kevin, nadanya terdengar agak kesal dan sok tahu, seolah mengecek apakah temannya kali ini sudah benar. "Aman kan kali ini? Nggak nyiduk sembarangan dari bak kecil yang airnya nggak penuh terus air musta'malnya balik lagi kan?"

Akhyar menjawab, agak datar tapi ada sedikit senyum geli di wajahnya, "Ya aman lah, Vin. Kan udah belajar dari yang tadi siang."

Kevin tampak puas mendengar jawaban itu, merasa 'kemenangannya' di perdebatan Alas Roban diakui.

Hamka dan Rizky, yang mungkin sudah selesai wudhu juga, bergabung. Setelah semua selesai berwudhu, mereka berkumpul di teras musholla, siap melaksanakan Sholat Maghrib dan Isya' secara jama' takkhir.

Namun, sebelum takbiratul ihram, Kevin tiba-tiba bertanya, "Eh, nanti sholatnya gimana urutannya ya? Maghrib dulu tiga rakaat, terus langsung Isya' dua rakaat? Atau Isya' dulu, baru Maghrib? Kan kita sholatnya di waktu Isya' sudah masuk?" Pertanyaan ini memicu kebingungan sejenak. Akhyar dan Rizky saling pandang. Hamka tampak berpikir.

"Ya Maghrib dulu lah, kan Sholat Maghrib dulu waktunya baru Isya'," kata Akhyar, berpegang pada urutan waktu kejadian.

"Tapi kan kita sholatnya pas waktu Isya' sudah masuk?" argumen Kevin. "Waktu Maghribnya kan sudah lewat jauh. Apa boleh Sholat Isya' dulu aja? Terus baru Maghrib?"

Hamka teringat sesuatu dari pengajian rutin di pondok dari ustadz yang mengajarkan Fiqh. Beliau terkenal dengan penjelasannya yang mudah dipahami. "Oh! Aku ingat!" seru Hamka. "Kata Apk Ustadz, kalau kita jama' takkhir itu tidak wajib tertib! Maksudnya, boleh kok Sholat Isya' dulu baru Maghrib, meskipun Maghrib itu waktunya lebih dulu. Syarat tartib (urut) itu wajibnya kalau jama' taqdim. Kalau ta'khir, boleh tidak urut!"

Akhyar dan Kevin tampak takjub mendengar penjelasan ini. Rizky juga terlihat mengerti. "Oh gitu ya? Berarti bebas ya mau yang mana dulu?" tanya Akhyar.

"Iya, bebas," kata Hamka. Dia melihat teman-temannya. "Tapi... enaknya gimana ya? Tetap urut aja ya kayak Sholat biasa? Maghrib dulu tiga rakaat, baru Isya' dua rakaat?" Kevin mengangguk setuju, "Iya deh, biar nggak bingung. Maghrib dulu aja." Rizky setuju. Akhyar juga.

"Oke," kata Hamka, yang mengimami. "Kita Sholat Maghrib tiga rakaat, langsung disambung Isya' dua rakaat, jama' takkhir qoshor."

Mereka berempat pun memulai Sholat. Sholat Maghrib tiga rakaat, lalu langsung berdiri untuk Sholat Isya' dua rakaat. Sholat di larut malam setelah perjalanan panjang terasa sangat khusyuk, menutup hari yang penuh petualangan dan pelajaran.

Setelah salam, mereka berdoa sejenak. Perasaan lega dan syukur melingkupi hati mereka.

Akhyar menggeliat ketika suara adzan berkumandang, bukan lagi adzan Dzuhur di Alas Roban, melainkan adzan Subuh di Jakarta. Hamka, Kevin, dan Rizky juga mulai terbangun dari tidur lelap mereka.

Waktu Subuh telah tiba. Mereka kembali berwudhu, merasakan segarnya air di pagi buta. Kemudian, mereka bersama-sama menunaikan Sholat Subuh dua rakaat di musholla yang sudah mulai terisi beberapa jamaah lain.

Setelah Sholat Subuh, suasana terasa berbeda. Petualangan mbonek bersama mereka sudah selesai. Hari sudah berganti menjadi Senin, 23 Juni 2025. Kini saatnya berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing ke rumah. Mereka merapikan tas ransel, memastikan semua barang ada di tempatnya, dan memeriksa sisa uang saku Rp50K mereka. Mungkin sisa uangnya tidak banyak, cukup untuk naik angkutan umum lokal dari Pulo Gadung ke rumah masing-masing.

"Oke," kata Hamka, mengambil peran 'kakak' lagi. "Dari sini kita cari angkutan umum. Akhyar ke Bogor, nanti naik bus dari Terminal Pulo Gadung ini atau cari yang ke arah sana. Kevin ke Jakarta Timur, rumahmu daerah mana Vin? Nanti cari angkot atau bus yang lewat sana. Rizky sama Hamka ke Tangerang, kita bisa cari bus yang ke arah Tangerang, nanti turun di tempat yang pas."

Mereka berdiskusi sebentar, memastikan rute dan perkiraan ongkos dengan sisa uang saku mereka. Mungkin uangnya pas-pasan, tapi cukup untuk angkutan umum lokal. Hamka, yang berpengalaman sendiri di jalan, terlihat paling paham cara menavigasi terminal dan angkutan umum.

Saatnya berpisah. Momen yang terasa berat setelah melewati hari yang luar biasa bersama. Mereka saling memandang, wajah-wajah lelah tapi mata mereka menyimpan cerita petualangan yang baru saja usai.

"Yar, Vin, Riz," kata Hamka, suaranya agak berbeda dari biasanya. "Terima kasih ya sudah mbonek bareng. Seru banget pengalamannya. Hati-hati di jalan ya sampai rumah."

"Iya, Ka!" kata Akhyar, suaranya juga agak serak. "Makasih juga sudah ngajak. Keren kita bisa sampai sini! Hati-hati juga ya kalian berdua."

Kevin tersenyum, matanya berbinar memikirkan semua yang terjadi. "Banyak pelajaran ya dari perjalanan ini. Soal matematika, soal fiqh, soal Ibu sopir truk... sama soal bak air," dia terkekeh pelan mengingat perdebatan di Alas Roban. "Nanti kalau ketemu di Kudus cerita-cerita lagi ya!"

Rizky mengangguk, senyumnya tulus. "Iya. Seru. Makasih sudah ngajak, teman-teman. Hati-hati ya semuanya."

Mereka berempat saling menyalami tangan, ada yang berpelukan singkat ala anak-anak. Mereka berjanji untuk saling berkabar jika sudah sampai rumah dan mungkin bertemu lagi liburan berikutnya di Kudus atau saat pondok libur.

"Dadah!" ucap mereka hampir bersamaan.

Akhyar dan Kevin berjalan ke arah yang berbeda dari Hamka dan Rizky, menuju area terminal atau halte bus terdekat untuk mencari angkutan umum ke Bogor dan Jakarta Timur. Hamka dan Rizky berjalan bersama ke arah lain, mencari bus menuju Tangerang.

Mereka berjalan menjauh satu sama lain, empat bocah santri dari Kudus yang baru saja menyelesaikan petualangan 'mbonek' yang penuh perhitungan matematis, perdebatan fiqh, dan pengalaman hidup yang tak terduga. Panas, debu, angin truk, bak air kecil, peta, penggaris, jam, speedometer, serta kebaikan orang-orang yang dijumpai di jalan, kini menjadi kenangan yang tak terlupakan. Tujuan mbonek untuk hemat dan mencari pengalaman berbeda telah tercapai.

Mereka melangkah memasuki keramaian Pulo Gadung di pagi hari, masing-masing menuju rumah mereka di Bogor, Jakarta Timur, dan Tangerang, membawa serta cerita tentang petualangan di atas roda Pantura. Petualangan kolektif mereka telah berakhir, kini mereka kembali ke perjalanan pribadi mereka.