Segitiga Sama Cinta


— who is the queen of the sciences: mathematics or biology?

Buat Lita Yuliyahya, konco PPL yang baik dan benar:

Matematika adalah ratunya ilmu, mathematics is the queen of the sciences. Begitu ucap beberapa perajin matematika. Ucapan itu begitu populer. Seringkali dipakai oleh pengajar untuk memberi dorongan kepada pelajar agar mau belajar matematika. Kurang ajar.

Setelah saya telusuri, ucapan itu ternyata dikutip dari tuturan Johann Carl Friedrich Gauß, yang ditulis oleh Wolfgang Sartorius von Waltershausen dalam Gauß zum Gedächtniss pada 1856:
“Die Mathematik hielt Gauß um seine eigenen Worte zu gebrauchen, für die Königin der Wissenschaften und die Arithmetik für die Königin der Mathematik. Diese lasse sich dann öfter herab der Astronomie und andern Naturwissenschaften einen Dienst zu erweisen, doch gebühre ihr unter allen Verhältnissen der erste Rang.”
(Gauß menggunakan matematika berdasarkan kata-katanya sendiri, bahwa matematika adalah ratu ilmu dan aritmetika adalah ratu matematika. Ia sering memberikan pelayanan untuk astronomi dan ilmu alam lainnya, tapi dalam semua hubungan dia adalah otoritas atas peringkat pertama.).

Friedrich Gauß sendiri memiliki kapling permanen dalam linikala matematika, astronomi, bahkan fisika. Contoh paling bagus ialah temuan yang menyalakan gairah membangun geometri lengkung (geometri non-euklid). Temuan tersebut merupakan sumbangan paling mengesankan, meskipun hal ini tidak disampaikan melalui terbitan maupun forum pertemuan akademik. Dasar dari anggapan ini ialah tanggapan Friedrich Gauß terhadap surat dari Ferdinand Karl Schweikart yang disampaikan pada 16 Maret 1819.

Perbedaan dasar antara geomteri euklid dan non-euklid ialah bidang yang dipakai. Geometri euklid berdasarkan bidang datar, sementara non-euklid berdasarkan bidang lengkung. Masing-masing punya keunggulan dan kelemahan. Geometri euklid unggul dalam kemudahan, tapi lemah dalam ketepatan. Kosok balinya, geomteri non-euklid unggul dalam ketepatan, tapi lemah dalam kemudahan. Tampak kentara bahwa keduanya saling melengkapi, tidak saling mencederai.

Dari sumbangan itu saja Friedrich Gauß berperan penting dalam mengembangkan matematika, astronomi, dan fisika. Sumbangan tentang geometri lengkung sendiri banyak dikembangkan oleh Georg Friedrich Bernhard Riemann dan Hermann Minkowski. Buah dari keduanya selanjutnya digunakan oleh Albert Einstein dalam membangun Teori Relativitas, Hermann Minkowski pada Relativitas Khusus dan Bernhard Riemann di Relativitas Umum. Perkembangan inilah yang membawa fisika into the new world.

Peristiwa menarik terkait Friedrich Gauß ialah keberadaan Marie-Sophie Germain sebagai rekan membahas matematika. Marie-Sophie awalnya terkesinma dengan karya Friedrich Gauß, Disquisitiones Arithmeticae. Sekitar 3 tahun Marie-Sophie mempelajari Disquisitiones Arithmeticae sampai akhirnya berinisiatif untuk menyurati Friedrich Gauß selaku penulis pada 21 November 1804.

Niat Marie-Sophie untuk mengajak Friedrich Gauß sebagai rekan membahas matematika begitu besar. Bahkan dirinya rela menggunakan nama samaran M. LeBlanc agar dianggap lelaki karena tak mau diabaikan oleh Friedrich Gauß. Pasalnya saat itu perempuan memang sedang begitu direndahkan di dunia akademik.

Keberadaan Marie-Sophie barangkali memberi inspirasi kepada Friedrich Gauß dalam mengungkap bahwa Matematika adalah ratunya ilmu. Friedrich Gauß memang—dari pribadi ke pribadi—secara gamblang memuji Marie-Sophie. Buat Friedrich Gauß, Marie-Sophie dibilang seorang yang punya keberanian yang paling mulia, bakat luar biasa, dan sangat genius. Siapa tahu secara khusus queen yang dimaksud ialah Marie-Sophie?

Dengan tetap memperhatikan dugaan yang nyaris mustahil dikonfirmasi itu, matematika sebagai disiplin ilmu memang menawan. Topik yang dicakup dalam matematika dapat memberi kepusaan tersendiri kepada manusia. Ibrahim Tan Malaka dalam Madilog serta Stephen William Hawking dan Leonard Mlodinow dalam The Grand Design kompak menyebut bahwa manusia ialah makhluk yang ingin tahu.

Dalam aspek menuruti rasa ingin tahu inilah matematika memberi kepuasaan tersendiri. Meskipun tak jarang bahwa kepuasan tersebut terasa tak berguna untuk keseharian. Misalnya kalau kita dapat menemukan nilai x untuk persamaan 2x + 7 = 15, apakah membuat BNI menaikkan bunga deposito kita? Atau jika kita bisa menyelesaikan integral lipat n, apakah Manchester City langsung dikasih tropi UEFA Champions League yang selalu diimpikan?

Walau begitu—dengan cara menuruti rasa ingin tahu itu—matematika sebenarnya tak hanya memberi kepuasaan, melainkan kegunaan. Kegunaannya ialah melatih kebiasaan berpikir yang teratur, sehingga hasilnya dapat diuji oleh setiap manusia serta kecerdasan otak dapat dikembangkan. Kebiasaan berpikir dapat memudahkan manusia dalam menyelesaikan persoalan. Di sinilah letak kegunaan matematika.

Kegunaan matematika begitu kentara nan terasa begitu dikaitkan dengan ilmu lain. Misalnya dengan ilmu fiqh (Arab: ﻓﻘﻪ). Fiqh adalah penafsiran keadaan terhadap sumber syarī’at (Arab: شريعة) yang dikembangkan oleh ‘ulamā’ (Arab: العلماء) semenjak abad kedelapan masehi untuk diterapkan sebagai aturan perilaku keseharian manusia. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, fokus tilikan fiqh dapat dilihat dengan indikator terukur dan teramati yang terkait langsung dengan keseharian manusia, baik dalam konteks personal, lokal, nasional, dan global.

Kegunaan matematika terhadap fiqh ialah sebagai pendukung dalam pelaksanaan ajaran yang disampaikan. Misalnya dalam menentukan status kesucian air. Fiqh memiliki aturan yang menjelaskan bahwa isi (volume) air pada ukuran tertentu tetap suci walau bercampur dengan najis (Arab: نجس). Fiqh memberikan indikator terukur dan teramati berupa batas minimal isi air tetap suci, tetapi tidak membahas cara mengukurnya dalam penampung yang beraneka ragam, seperti berbentuk kubus, balok, dan tabung. Pada cara mengukur inilah matematika memberikan dukungan.

Wajar kalau matematika termasuk ilmu non-syar’i yang disebut secara tersurat dalam pembahasan ḥukum syar’i. Misalnya Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī (Arab: أبو حامد محمد الغزالي), yang mendefinisikan matematika sebagai mendefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan perhitungan, perancangan, dan perilaku alam.

Al-Ghozālī menyebut bahwa matematika sama sekali tidak terkait dengan pembuktian maupun penyangkalan kebenaran agama. Namun, dirinya menjelaskan bahwa matematika termasuk ilmu yang memiliki kaitan terhadap kebaikan pelaksanaan ajaran agama. Sehingga al-Ghozālī menyimpulkan bahwa hukum belajar matematika dirinci menjadi dua: fardhu kifāyat (Arab: فرض كفاية, keharusan yang bersifat kolektif) dan fadhīlat (Arab: فضيلة, keutamaan yang dianjurkan). Fardhu kifāyat diberikan untuk belajar secara umum, misalnya cara mengetahui keliling segitiga, sedangkan fadhīlat diberikan untuk belajar secara rinci, seperti membuktikan Teorema Pythagoras.

Pendapat dari al-Ghozālī tersebut dikuatkan oleh Abū Zakariyyā Yahyā an-Nawawī (Arab: أبو زكريا يحيى النووى) dan Muḥammad ibn Mūsā al-Khowārizmī (Arab: محمد بن موسى الخوارزمي). An-Nawawī juga menyebut bahwa Matematika termasuk ilmu yang mendukung pelaksanaan ajaran agama, sehingga hukum belajar matematika ialah fardhu kifāyah. Sementara al-Khowārizmī turut menguatkan bahwa matematika diperlukan dalam urusan pembagian warisan dan wasiat, perdagangan, pengukuran tanah dan sungai, serta merancang bangunan.

Matematika juga berguna terhadap fisika. Fisika adalah ilmu yang mempelajari cara alam raya berperilaku untuk diterapkan dalam menghasilkan produk yang memudahkan keseharian manusia serta memberi pengertian tentang alam raya. Alam raya, menurut Galileo Galilei, memiliki bahasa yakni matematika. Bahasa alam raya ini kemudian ditulis dalam bentuk simbol dan bangun untuk memudahkan manusia dalam memahami alam raya yang menjadi tujuan fisika.

Kegunaan Matematika terhadap fisika ialah sebagai pembantu dalam usaha yang dilakukan oleh Fisika. Contohnya dalam meramalkan keadaan benda yang dicemplungkan ke dalam air. Fisika memiliki penjelasan bahwa benda dapat tenggelam, melayang, atau mengapung ketika tercemplung ke dalam air dengan indikator berupa perbedaan kerapatan muatan isi benda dan air yang menyebabkan tiga hal itu terjadi sekaligus cara menentukan besar kerapatan. Namun, fisika tidak menjelaskan aturan perhitungan, seperti perbandingan bilangan tertentu yang menunjukkan kerapatan benda (volumetric mass density, massa jenis) lebih besar, sama dengan, atau kecil kecil dari air. Pada aturan perhitungan inilah matematika muncul sebagai pembantu.

Wajar kalau kemudian matematika menjadi pelajaran yang diberikan di semua tingkatan sekolah, baik dasar, menengah, maupun tinggi, serta setiap jurusan dengan kadar keluasan dan kedalalam pembahasan yang beragam. Di tingkat sekolah dasar, pembahasan Matematika ditujukan pada objek konkret yang tercakup pada cabang aritmetika, geometri, dan statistika. Di tingkat menengah, pembahasan matematika mulai memadukan objek konkret dan abstrak, sehingga cabang aljabar dan analisis turut dilibatkan. Di tingkat tinggi, pembahasan matematika dilakukan secara lebih rinci, baik pada seluruh cabang atau diambil cabang tertentu seperti logika dan statistika, berupa pendalaman terhadap cabang tertentu atau diambil penerapan pada ilmu tertentu seperti pada fisika dan akuntansi.

Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat alasan untuk menolak pembelajaran matematika di sekolah. Saya sendiri tidak pernah menolak pembelajaran matematika di sekolah, meski secara pribadi dalam beberapa percakapan on dan offline sering mempermasalahkan.

Permasalahan yang biasa saya sampaikan sangat sepele, ialah penyebutan matematika sebagai ratunya ilmu. Saya lebih sreg jika matematika dianggap saja sebagai pembantu. Pasalnya pada saat yang sama, sebutan rajanya ilmu disematkan kepada fisika, physics is the king of sciences. Kalau sebutan matematika adalah ratunya ilmu diberikan oleh Friedrich Gauß, semat raja ini saya tidak tahu menahu siapa yang kali pertama menyebutnya. Buat saya, kalau sebutan the king of sciences diberikan kepada physisc, the queen of the sciences lebih tepat disematkan kepada biology.

Memang dalam linikala perkembangan ketiganya, ialah matematika, fisika, dan biologi, tampak bahwa matematika dan fisika sudah lama bercumbu manis bersama, sedangkan biologi nyaris berjalan sendiri. Namun, dalam perjalanannya, keadaan mulai pelik. Matematika kian rewel dan mulai menunjukkan ingin berjalan sendiri. Sedangkan fisika semangkin keras kepala. Sementara pada saat yang sama, biologi kian menggoda. Tak hanya menggoda fisika, pun matematika.

Godaan biologi kepada matematika mewujud dalam bentuk penyelidikan terhdap pola yang didapatkan dari pembahasan biologi. Seperti disampaikan oleh Richard Phillips Feynman dalam pertemuan XV National Science Teachers Association pada 1966 di New York City bahwa matematika ialah pencarian pola, hal ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Misalnya Fibonacci menyelidiki pola pertambahan populasi kelinci yang menghasilkan deret Fibonacci. Johann Friedrich Theodor Müller belakangan juga demikian. Melalui gagasan mimikri Müllerian pada 1879, Fritz Müller berpendapat bahwa pertumbuhan akan bersifat eksponensial sementara daya dukung lingkungan hanya bisa tumbuh secara aritmatika.

Sementara godaan biologi kepada fisika mulai muncul ketika ia membantu untuk menemukan kelestarian energi pada alam yang terungkap kali pertama oleh Julius Robert Mayer pada tahun 1842 M. Meskipun peristiwa itu tak langsung membuat keduanya bercumbu rayu bersama, belakangan hubungan keduanya kian mesra. Kemesraan yang segera mengetuk hasrat Carl Pearson ‘tuk menjamah surgamu mengenalkan istilah biophysics pada 1892.

Perbedaan antara kaitan matematika dan biologi dengan fisika dan biologi ialah bahwa matematika hanya memanfaatkan pembahasan biologi untuk menemukan pola di dalamnya, sementara fisika berupaya untuk memberikan pembahasan tambahan yang dimulai dengan cara menginjeksi konsep fisika terhadap objek biologi. Perbedaan lain ialah kaitan matematika dan biologi terasa kurang diminati ketimbang kaitan fisika dan biologi.

Minat tersebut mendapat momentum puncaknya gara-gara kelakukan Erwin Rudolf Josef Alexander Schrödinger yang memberikan ceramah di Trinity College, Dublin, pada Februari 1943. Ceramah tersebut kemudian diterbikan menjadi buku setahun kemudian dengan judul, What Is Life? The Physical Aspect of the Living Cell.

Erwin Schrödinger fokus kepada pertanyaan, “Bagaimana bisa peristiwa dalam ruang dan waktu yang terjadi dalam batas ruang dari organisme hidup dipertanggungjawabkan oleh fisika dan kimia?” Pertanyaan ini kemudian diuraikan ke dalam lima pembahasan yang diahiri dengan dua premis tentang kehendak bebas manusia: (1) hukum alam turut menentukan fungsi tubuh dan (2) makhluk hidup dapat menentukan sendiri kemauannya. Dua premis tersebut laiknya tesa dan antitesa yang saling bertentangan, yang tentu saja butuh sintesa.

Kebutuhan terhadap sintesa itulah yang kemudian menyalakan gairah ‘memasukkan fisika’ ke dalam ‘biologi’—situasinya mulai pelik, sudah berani main masuk-masukan. Di situlah letak perbedaan kaitan antara matematika dan biologi dengan fisika dan biologi. Apalagi pada saat yang nyaris bersamaan, matematika lebih banyak sibuk dengan dirinya sendiri, misalnya menyelesaian masalah hipotesis Riemann dan teorema Kronecker–Weber.

Kesibukan dengan dirinya sendiri begitu menarik hati perajin matematika. Saking menariknya, para pedagog yang fokus terhadap matematika ingin menginjeksikannya ke dalam pembelajaran di sekolah. Sayang keinginan itu segera ditanggapi oleh Richard Phillips Feynman. Dirinya dengan gamblang menunjukkan keberatan terhadap gairah yang disebut ‘New Matematics’ ini.

Richard Feynman merasa bahwa ‘New Mathematics’ kurang merakyat lantaran seakan ngoyo mengajak semua pelajar turut serta dalam perkembangan matematika. Padahal kalau mau ditelisik lebih lanjut, matematika yang digunakan oleh banyak orang, seperti perajin fisika teori, insinyur, maupun pedagang, adalah matematika yang dikembangkan sebelum 1920.

Richard Feynman ingin agar fokus “New Mathematics” diarahkan terhadap cara mengajarkan matematika yang mudah diterapkan dalam keseharian agar dapat dikuasi oleh pelajar, bukan memaksa semua pelajar mengikuti perkembangan matematika. Dengan demikian, pelajar dapat menggunakan matematika hingga tanpa diberi tahu dapat merasakan sendiri kegunaan matematika.

Richard Feynman sendiri menganggap matematika not a science (bukan ilmu alam), karena the test of its validity is not experiment (uji keabsahaannya tidak melalui eksperimen). Lebih lengkap dirinya menuturkan sebagai dalam Six Easy Pieces berikut:
“Mathematics is not a science from our point of view, in the sense that it is not a natural science. The test of its validity is not experiment. We must, incidentally, make it clear from the beginning that if a thing is not a science, it is not necessarily bad. For example, love is not a science. So, if something is said not to be a science, it does not mean that there is something wrong with it; it just means that it is not a science.”
(Matematika bukanlah ilmu dari sudut pandang kami, dalam arti bahwa itu bukan ilmu alam. Uji keabsahannya bukan eksperimen. Kita harus, secara kebetulan, memperjelas dari awal bahwa jika sesuatu itu bukan ilmu, itu tidak selalu buruk. Misalnya, cinta bukanlah ilmu. Jadi, jika sesuatu dikatakan bukan ilmu, itu tidak berarti ada yang salah dengan itu; itu hanya berarti itu bukan ilmu).

Kalau matematika not a science, mengapa sebutan the queen of the sciences masih perlu dipertahankan? Demi menunjukkan most remarkable relationship between mathematics and physics (hubungan paling luar biasa antara matematika dan fisika)? Memang sekarang masih most remarkable? Bukankah relationship keduanya malah kian pelik, terasa kian menjauh? Apalagi keduanya saling menjauh lantaran menuruti ‘ego’-nya—misalnya fisika ngoyo dengan pengujian melalui eksperimen sedangkan matematika cukup puas dengan pengujian melalui nalar terliar.

Kepelikan hubungan antara fisika dan matematika memantik komentar dari Freeman John Dyson. Freeman Dyson pada 17 Januari 1972 menyebut, “I am acutely aware of the fact that the marriage between mathematics and physics, which was so enormously fruitful in past centuries, has recently ended in divorce.” (Aku sangat sadar akan fakta bahwa perkawinan antara matematika dan fisika, yang sangat bermanfaat dalam abad-abad yang lalu, baru-baru ini berakhir dengan perceraian.).

Kini perkembangan biologi membuka ruang buat fisika untuk turut serta berkembang bersama. Fisika kini tak hanya sekadar membahas benda mati yang berguna untuk mengembangkan peralatan seperti ketapel dan ponsel, melainkan juga memberi pengertian terhadap diri makhluk hidup. Biologi pun demikian, mulai menerima pandangan bahwa proses kehidupan tersusun atas benda mati. Kelak, mungkin matematika akan ikut-ikutan dalam hubungan ini, dengan alasan menyelidiki pola atau membuat model atau apalah-namanya yang jelas kayak pelakor-kelakuannya.

Kemesraan antara fisika dan biologi membuat Carl Richard Woese biofisika menuturkan, “Society needs to appreciate that the real relationship between biology and the physical sciences is not hierarchical, but reciprocal: physicsbiology. Both physics and biology are primary windows on the world; they see the same gem but different facets thereof (and so inform one another).” (Masyarakat perlu menghargai bahwa hubungan nyata antara biologi dan ilmu fisika tidak hirarkis, tetapi timbal balik: fisikabiologi. Fisika dan biologi adalah jendela utama di dunia; mereka melihat permata yang sama tetapi aspek yang berbeda darinya (dan menginformasikan satu sama lain)).

Berdasarkan hal ini, bukankah lebih tepat kalah sebutan the queen of the sciences diberikan kepada biologi? Please “Say Yes” seperti lantun Girls’ Generation, “Don’t say no!”, lantun Seo Ju-hyun dalam karya solonya. Boleh say no juga sih, ‘kan the king bisa tetap available biar tidak single. Jadi matematika dan biologi sama-sama the queen of the sciences. Bedanya ialah mathematics is the queen of imaginary sciences and biology is the queen of real sciences atau mathematics is the queen of formal sciences and biology is the queen of life sciences.

Dampak dari permasalahan sangat sepele terkait penyebutan matematika sebagai ratunya ilmu ini ialah pandangan saya terhadap kurikulum matematika di sekolah. Selama ini cabang matematika yang diajarkan di sekolah meliputi aritmetika, geometri, statistika, aljabar, analisis, logika, trigonometri, dan kalkulus. Kurikulum disusun berjenjang, dari cabang paling konkret sampai abstrak, dimulai dari aspek yang ‘sederhana’ sampai ‘rumit’. Tidak ada masalah dalam penyusunan semacam ini.

Masalah yang muncul ialah ketika matematika dibutuhkan dalam pelajaran lain, misalnya fisika di tingkat menengah atas (SMA/MA). Kurikulum fisika disusun berurutan mulai cabang mekanika, termodinamika, gelombang, listrik dan magnet, serta perkenalan kaidah relativitas dan kuantum. Masalah yang muncul ialah ketika membahas mekanika pada semester pertama kelas X, dalam hal ini gerak lurus, pelajar sudah memerlukan kalkulus, dalam hal ini dasar diferensial dan integral. Sedangkan kalkulus sendiri baru mulai diajarkan oleh matematika di kelas XI. Di kelas XI pula matematika mulai membahas persoalan trigonometri, yang notabene sudah diperlukan oleh fisika di kelas X, dalam hal ini gerak liuk (parabola dan melingkar).

Berdasarkan keadaan tersebut, mengapa kurikulum matematika tidak ditilik ulang? Saya sering berharap—bermimpi mungkin lebih tepat—agar kalkulus dan trigonometri—sesederhana apapun—mulai disinggung di tingkat menengah pertama (SMP/MTs). Penyinggungan ini bisa dilakukan seperti meletakkan kalkulus setelah membahas persamaan serta menempatkan trigonometri setelah geometri. Mungkin terkesan apologia karena pembahasannya terlalu sulit. Namun, ketika membahas matematika di sekolah, hasrat kuat saya terletak pada penyusunan ulang kurikulum sejak kelas I (SD/MI) sampai kelas XII (SMA/MA). Minat?

K.Sb.Lg.090340.161118.19:48