Jilbab: dari Pandangan hingga Penggunaan


Penulis: Nong Darol Mahmada *)
Rosa Amalia Iqony
Ilustrasi : Rosa Amalia Iqony


Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.

Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâbdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke 4 Hijriyah.

Jilbab Pra-Islam

Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti if'eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re'alah, zaif dan mitpahat.

Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Tradisi penggunaan kerudung pun sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria. Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda bila bepergian ke tempat umum harus menggunakan kerudung. Dan kalau merunut lebih jauh mengenai konsep ini, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, maka persoalan pertama yang mereka alami adalah bagaimana menutup kemaluan mereka (aurat) (QS. Thaha/20: 121).

Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.

Jilbab dalam Tradisi Islam

Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur'an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.

Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari dari kata jaib yang artinya adalah ash-shadru (dada). Jadi kalimat hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-nya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah.

Seperti yang digambarkan oleh Al-Allamah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”.

Sementara itu Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan perempuan pada masa jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudung mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulurkan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka”.

Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim pada perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya berperang untuk memberikan semangat juang.

Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, kedua ayat ini juga turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis.

Surat Al-Ahzab yang didalamnya terdapat ayat hijab turun setelah perang Khandaq (5 Hijriyah). Sedangkan surat An-Nur turun setelah al-Ahzab dan kondisinya saat itu sedang rawan. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk menjawab serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin Ubay dan konco-konconya, terhadap umat Islam.

Memakai perempuan untuk memfitnah?

Serangan kaum munafik ini “memakai” perempuan Islam dengan cara memfitnah istri-istri Nabi, khususnya Siti Aisyah. Peristiwa terhadap Siti Aisyah ini disebut peristiwa al-ifk. Pada saat itu, peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga untuk mengakhiri-nya harus ditegaskan dengan diturunkannya lima ayat yaitu QS. An-Nur/23: 11-16.

Ayat-ayat ini juga turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman seperti yang diceritakan di atas. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu.

Menurut Abu Syuqqah, perintah untuk mengulurkan jilbab pada ayat di atas, mengandung kesempurnaan pembedaan dan kesempurnaan keadaan ketika keluar.

Dan Allah SWT telah menyebutkan alasan perintah berjilbab dan pengulurannya. Firman-Nya, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dalam hal ini, untuk membedakan perempuan merdeka dan
perempuan budak.

Ambiguitas Islam

Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan kaum budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian.

Namun menurut saya, untuk menghindari penafsiran ambigu tersebut, maka titik tekan penafsiran itu adalah etika moral ayat itu. Yaitu tidak hanya sebagai aturan dalam berpakaian saja. Sehingga tidak ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan budak, tetapi lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja (modesty) yang bisa dilakukan siapa saja.

Dalam dunia Islam, banyak ditulis buku tentang tentang hijâb, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan isu ini tidak memberikan perintah yang tersurat bagi perempuan Islam. Ini hanya membicarakan kesopanan perempuan pada umumnya dan menetapkan peraturan bagi isteri-isteri Nabi.

Seperti pernah dikemukakan Fatima Mernissi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS. Al-Ahzab/33:53 menegaskan akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak ada dikotomi publik dan privat.

Menurut Ruth Rodded dalam bukunya Kembang Peradaban, sampai sekarang masih terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat hijâb. Perbedaan pendapat ini juga berkisar pada definisi-definisi yang tepat mengenai kata-kata tertentu (termasuk istilah hijâb), konteksnya dan apakah peraturan yang ditetapkan untuk isteri-isteri Nabi harus menjadi norma bagi semua perempuan Islam.

Namun seperti yang dikatakan Harun Nasution, “Pendapat yang mengatakan hijâb itu wajib, bisa dikatakan ya. Dan yang mengatakan tidak wajib pun bisa dijawab ya. Tapi batasan-batasan aturan yang jelas mengenai hijâb ini tidak ada dalam Alqur'an dan hadits-hadits mutawatir.” (Islam Rasional, h.332)

Jilbab adalah Budaya

Nah, pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib salah satunya bisa kita temukan dalam pada karya Muhammad Sa'id Al-Asymawi yang berjudul Haqiqatul Hijab wa Hujjiyyatul Hadits. Dalam buku tersebut, Al-Asymawi berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap.

Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat.

Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.

Selama ini, kita terbiasa membaca buku atau pernyataan tentang kewajiban jilbab disertai ayat Alqur'an dan Hadis serta ancaman bila perempuan Islam tak memakainya. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.

Saya menulis artikel ini bukan berarti saya fobia atau over estimate terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, saya sangat menghormati dan menghargainya.
Eny Rochmawati Octaviani
Ilustrasi : Eny Rochmawati Octaviani

Jilbab Warna-Warni

Jilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak bisa kita melihatnya secara hitam putih. Di Indonesia pun jilbab mengalami evolusi dalam pemakaiannya. Dulu hanya sehelai kain yang menutup kepala atau dikenal sebagai kerudung, karena itu untuk solat perempuan di Indonesia memakai mukena. Tren Komunitas hijabers Namun terjadinya Revolusi Iran di akhir 1970-an berpengaruh dalam mengubah model pemakaian jilbab menjadi lebih tertutup. Sekarang bahkan dengan aneka warna dan gaya yang dipopulerkan oleh komunitas hijabers yang membuat berjilbab sangat modis dan fashionable.

Secara keseluruhan tren jilbab di masyarakat kita. Menurutnya, ada empat tipologi yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab ini. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.

Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Ini yang sekarang dikenal sebagai jilbab syar'i, jilbab yang lebar, yang menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.

Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan pun berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas.

Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama. Jilbab warna warni dan sangat menarik bisa bersanding bahkan bersaing dengan jenis busana lainnya.

Jilbab model ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu. Jenis jilbab inilah yang fenomenal, digandrungi kawula muda dan kalangan kelas menengah. Apalagi dengan banyaknya selebritas yang memakai jilbab dan tampil di media massa khususnya televisi. Dan bulan Ramadan merupakan moment yang sangat sempurna untuk menampilkan jilbab modis ini dengan pelbagai model & gaya disertai panduan cara memakainya. Jilbab dan busana model ketiga ini tak bisa lagi dilihat dengan perspektif teologis, karena dalam aturan syariat yang jumud, pakaian perempuan tidak boleh yang memancing perhatian publik.

Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Contoh di Indonesia, bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab selalu menjadi agenda utama. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun dipaksakan pemakaiannya ketika perempuan berada di ruang publik. Inilah yang terjadi di Aceh, Padang, dan beberapa daerah di Indonesia yang ingin menerapkan syariat Islam. Bahkan di sekolah-sekolah negeri di Jakarta pun, ada hari tertentu yang mewajibkan siswi memakai jilbab.

Keyakinan tak perlu aturan

Ada juga jilbab yang dipakai sebagai bentuk perlawanan. Misalnya yang terjadi pada Revolusi Iran dimana perempuan memakai jilbab sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa diktatur saat itu. Juga terjadi di era Orde Baru terjadi perlawanan dalam rangka melawan pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri.

Saya tidak setuju dengan dua cara ekstrim ini: mewajibkan atau melarang pemakaian jilbab. Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan, baik yang mewajibkan maupun yang melarang. Dengan pemahaman seperti ini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana, apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau sekedar budaya belaka.

Saya pribadi sangat menghargai dan menghormati apabila ada perempuan Islam yang ingin mengenakan jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakaikan atau memaksakan standar pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya dengan pandangan sepihak, bahwa yang memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi varian keempat untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.

Namun, buat saya, jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik dan ukuran kesolehan seseorang. Saya sendiri biasa memakainya dalam situasi dan kondisi tertentu. Jilbab sebagai produk budaya seperti halnya pakaian lainnya akan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.

*) Nong Darol Mahmada adalah perempuan yang tulisannya sering dimuat di media massa dan jurnal nasional, editor beberapa buku, serta pembicara di berbagai konferensi internasional.